Jumat, 03 Mei 2024

ANSHARULLAH, S.Ag, M.Fl.

 


Ansharullah, S.Ag, M.Fil.I lahir di Amuntai, Senin, 9 Juni 1975 (bertepatan dengan  29 Jumadil Awwal 1395 H ). Berlatar belakang pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah “Manarul Huda” Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah (lulus 1987), kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren “al Falah” Banjarbaru, kalimantan Selatan (lulus 1991). Tahun 1992 kembali ke Amuntai untuk menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 2 Amuntai (lulus 1995).

Beliau kemudian menempuh program sarjana pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari, mengambil jurusan Aqidah Filsafat (tamat 1999). Pada tahun inilah, setamat kuliah, beliau mengikuti tes CPNS Kualifikasi Dosen Filsafat Umum yang diselenggarakan AN Antasari dan lulus sebagai Dosen Filsafat Umum pada Fakultas Syariah AN Antasari banjarmasin.

Baru pada tahun 2007 berkesempatan untul mengambil Program Pascasarjana di IAIN Antasari jurusan Filsafat Islam konsentrasi Ilmu Tasawuf, dan lulus dengan meraih gelar Magister Filsafat Islam (M.Fil.I).

Beliau ada menerbitkan beberapa buku, diantaranya : Pengantar Filsafat, Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Ummat (LPKU), Batola, 2019, dan Pengantar Ilmu Tauhid , LPKU, Barito Kuala, 2021.

Diantara kalam beliau:

“Tentang kenabian, manusia dapat berhubungan dengan Aql Fa’al (Jibril) melalui 2 cara/ metode, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi/ fisik dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara yang kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi” (Ansharullah, Pengantar Filsafat, Batola : LPKU, Cet. 3, Oktober 2019, h. 81)

“Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang yang mawjud atau tentang ciptaan Tuhan, maka semakin sempurna pulalah ia bisa dalam mendekatkan pengetahuan tentang adanya Tuhan itu” (Pengantar Filsafat, h. 83)

“Tujuan diberlakukannya hukum Islam adalah terciptanya keselamatan baik di dunia dan di akhirat. Islam, selain berarti penundukkan, juga berarti penyelamatan. Tujuan dari hukum Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman dan Rahiim Allah kepada semua makhlukNya dimana hukum Islam bertujuan menyelamatkan manusia dari yang tidak diinginkan. Rahmatan lil ‘alamin adalah inti tujuan hukum Islam. Dengan adanya syariah tersebut perdamaian dan keselamatan dapat ditegakkan di muka bumi dengan pengaturan masyarakat yang dapat memberikan keadilan kepada semua orang agar terarah kepada keselamatan di dunia dan di akhirat nanti” (Pengantar Filsafat, h. 95)

“Pandangan dalam dunia Islam menyebutkan bahwa asal, cara, dan tujuan perilaku manusia mempunyai konsekuensi eskatologis (hari akhir), yaitu bermula dari dan berujung pada keimanan pada Allah Subhanahu wa ta’ala”. (Pengantar Filsafat, h. 98)

“Adapun hubungan antara ilmu Tauhid dengan ilmu ilmu keislaman lainnya adalah bahwa ilmu Tauhid merupakan dasar dan akar dari ilmuilmu ajaran agama Islam, sedangkan ilmu yang lainnya merupakan cabang dari ilmu Tauhid tersebut. Dengan kata lain, ilmuilmu lain dalam Islam harus berdasarkan pada ajaran Tauhid yang diajarkan dalam Islam. Ilmu Tauhid, filsafat dan ilmu tasawuf itu mempunyai kemiripan dalam banyak masalah pada aspek objek bahasan. Objek bahasan ilmu tauhid itu adalah masalah ketuhanan dan segala sesuatu  yang berkaitan dengannya. Objek bahasan filsafat adalah masalah ketuhanan disamping juga masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu, objek bahasan tasawuf adalah Tuhan, yaitu upaya oleh manusia dalam melakukan pendekatan kepada Nya. Jadi, jika dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu tersebut membahas masalah yang berkaitan dengan masalah ketuhanan. Ketiganya bisa saling membantu dalam arti saling memberikan informasi yang bersifat masukan informasi bagi ilmuilmu lainnya” (Ansharullah, Tauhid Sebuah Pengantar, Batola : LPKU, 2021, h. 5)

“Mengesakan Allah Subhanahu wa ta’ala dari segi Dzat Nya, yaitu menyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala itu tidak tersusun dari elemen elemen internal maupun eksternal, dan tidak ada yang menyamai dan menyerupai dzat Nya. Mengesakan Allah dalam masalah sifat berarti bahwa menyakini bahwa Cuma Allah Subhanahu wa ta’ala saja yang memiliki kesempurnaan dalam semua sifat kebaikan. Jika kita menyebut Allah itu kekal, maka kita juga menyakini bahwa yang kekal itu Cuma Allah Subhanahu wa ta’ala saja, tidak makhluk yang kekal, kecuali jika Allah berkehendak mengekalkannya sampai waktu yang lama. Tauhid dalam masalah perbuatan Tuhan, berarti bahwa hanya Allah saja yang memiliki kesempurnaan dalam melakukan semua hal yang dikehendaki oleh Nya”. (Tauhid Sebuah Pengantar, h. 17)

MUHAMMAD MURDAN

 


Drs. H. Muhammad Murdan, M.Ag lahir di Hulu Sungai Utara, Jum’at, 4 Maret 1966 M (bertepatan dengan 11 Zulqaidah 1385 H). Adalah Dosen UIN Antasari spesialisasi Metodelogi Studi islam.

Diantara kalam beliau:

“Seiring dengan perkembangan masyarakat dunia yang sangat dinamis, baik dipicu oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, maupun didesak oleh kuatnya pengaruh organisasi-organisasi masyarakat dunia kontemporer, seperti negara bangsa (nation state), perserikatan bangsa-bangsa (united nation) dan globalisasi dunia (global world), tentu perbaikan, perubahan dan perkembangannya dalam Islam harus dilakukan untuk menciptakan Islam yang mampu beradaptasi dan bertahan (survive) lintas zaman, dari sifat respect ummat Islam inilah, diharapkan Islam mampu menjadi rahmat bagi alam semesta” (M Murdan, “Contribution of Islamic Law In Indonesian Legal Politics”, al-Ihkam, Jurnal Hukum Keluarga”, Jurusan Ahwal as-syakhsyiyah Fakultas Syari’ah IAIN Mataram, h. 54)

“Menyandingkan Islam dan konstitusi dalam masyarakat negara bangsa (nation state) tentu merupakan hal yang baru dalam arus negara bangsa belakang. Sebaliknya, kuatnya pengaruh pemahaman sekularisme dalam berbangsa dan bernegara berimplikasi besar terhadap pemisahan antara agama (religion) dan negara (state), sehingga asumsi yang dibangun adalah agama dan negara merupakan 2 hal yang berbeda dan harus dipisahkan” (h. 59)

“Secara konstitusional, Indonesia menunjukkan bahwa negara modern tidak selamanya identik dengan pemisahan antara kekuasaan negara dengan kekuasaan agama (sekuler). Melalui Pancasila sebagai landasan dasar berbangsa dan bernegara, Indonesia menempatkan kepercayaan atau agama sebagai sentral dalam menjalankan aktivitas kebangsaan. Sila pertama, misalnya menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa. Butir sila pertama ini diyakini sebagai landasan religius masyarakat Indonesia dalam bebrbangsa dan bernegara. Sila pertama inilai dilambangkan sebagai bintang yang dapat diartikan sebagai cahaya bagi silai-sila lainnya. Sehingga, suatu kewajaran apabila masyarakat Islam Indonesia sebagai mayoritas menghendaki peraturan perundang-undangan dan produk hukum lainnya memiliki kesejalanan dengan ajaran-ajaran yang berkarakter keislaman”. (h. 65).

“Fiqih Indonesia tidak akan mampu terealisasi selama fikih Indonesia mengacuhkan elemen penting atau ciri khas dari masyarakat modern yang dimaksud ialah memiliki struktur yang rapi dalam bentuk pemisahan kekuasaan (separation / distribution of power) yang dalam konteks Indonesia menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan Yudikatif. Apabila fikih Indonesia menghendaki implementasi yang nyata, maka tidak ada alasan untuk menolak formalisasi hukum Islam melalui trias politika diatas. Hukum Islam harus mampu diterima oleh kalangan eksekutif, legialatif dan mampu dijadikan acuan yuridis oleh badan yudikatif negara dalam memberikan putusan yang mengikat”. (h. 67)

Ustadz HAMID MUNAWWAR, Lc

 


Ustadz Hamid Munawwar, Lc adalah seorang da’i ilallah dari Kecamatan Haur Gading, Kabupaten Hulu Sungai Utara. PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara. Pernah menjadi pengurus BAZNAS Kabupaten Hulu Sungai Utara. Beliau juga sering tampil menjadi moderator diskusi dalam acara yang diadakan oleh Diskominfo HSU.

Diantara kalam beliau:

“Kehidupan di dunia ini adalah sesuatu yang fana, sebagaimana Allah menciptakan seluruh makhluk itu bersifat fana. Maka sesungguhnya yang patut kita cintai, yang patut kita syukuri hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Alau kita berada dalam kejayaan, berada dalam roda kehidupan yang di atas, maka sesungguhnya itu patut kita syukuri, tetapi jangan sampai menjadikan kita menjadi orang orang yang sombong, menjadi orang orang yang angkuh. Karena sesungguhnya roda itu pasti berputar. Dan ketika kita berada di atas, bisa jadi besok hari, atau seminggu kemudian atau setahun atau kemungkinan beberapa tahun kemudian kita akan berada dibawah. Begitu pula saat kita berada di bawah, janganlah kita mengutuk takdir, janganlah kita menyalahkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena bisa jadi itu adalah cobaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala agar kita bisa menjadi orangorang yang bersyukur”.

“Kalau kita sabar dalam ujian (kehidupan) maka termasuk orang orang yang beriman, tetapi kalau kita kada sabar dengan ujian yang menimpa kita, dengan nikmat yang kita dapatkan, maka kita termasuk orangorang yang kafir lawan nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala”.

“Dalam kitab Sirr al Asrar, Syekh Abdul Qadir alJilani ada menyebutkan bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Nur Muhammad, yaitu Roh dan Nur Muhammad, lalu pena, takdir dan aqal... Disini harus kita fahami dari perkataan Syekh Abdul Qadir al Jilani : “Nang diciptakan oleh Allah”, berarti Nur dan Roh Nabi Muhammad itu adalah diciptakan, artinya tetap makhluk, bukan Azaly, bukan Sarmadi, dan bukan ‘Abadi. Jadi ada istilahnya itu ada “Abadi, kada berkesudahan; ada Sarmadi, kadada awal kadada akhir; dan ada “Azaly, kada mempunyai awal”.