Sabtu, 12 Juni 2021

Prof. DR. H. AKHMAD BUKHARI, M.Ag

Prof. DR. H. Akhmad Bukhari, M.Ag, bin H. Ahmad Nawawi bin Abdul Majid, lahir di Amuntai, 10 Desember 1956 M bertepatan dengan 7 Jumadil Awwal 1376 H. Pendidikan Dasar beliau Sekolah Dasar “Beringin” Amuntai. Sedangkan untuk tingkatan menengah dan atas beliau bersekolah di Pondok Pesantren “Rasyidiyah Khalidiyah” (Rakha) Amuntai. Setelah itu beliau melanjutkan kuliah ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Arab (1986).  Gelar Master Agama beliau peroleh di UMS Surakarta pada bagian Konsentrasi Studi Islam (Sosiologi Agama) tahun 2000.  Sedangkan gelar Doktor beliau dapatkan setelah menyelesaikan program S3 di UNINUS Bandung pada tahun 2014 dengan konsentrasi pada Manajemen Pendidikan.

Sejak diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di tahun 1987, karir dalam pekerjaan terus meningkat. Dari menjabat sebagai Kasubag Umum Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari 1990 di Samarinda (Filial), Pembantu Ketua III Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (Swasta) tahun 1988 – 1996, Ketua Jurusan Dakwah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda 1999 – 2001, Pembantu Ketua III STAIN Samarinda tahun 2001 – 2005, Ketua Jurusan Dakwah dan Komunikasi STAIN dari tahun 2013 sampai sekarang, Ketua Senat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) 2019 – 2023.

Dalam keorganisasian beliau aktif diantaranya sebagai Wakil Syuriah Nahdlatul Ulama Wilayah Kalimantan Timur tahun 2012 – 2017, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Kalimantan Timur 2013 – 2018, Anggota Dewan Pakar Dewan Masjid Indonesia (DMI) Propinsi Kaltim 2013 -2018, Ketua Yayasan Mesjid Raya Samarinda Bidang Imarah tahun 2014 – 2019, Pengurus Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Samarinda periode 2005 – 2009, Ketua Ikatan Sarjana NU (ISNU) Propinsi Kaltim periode 2000 – 2005, anggota Forum Kerjasama antar umat beragama (FKUB), dan lain-lain.

Sebagai seorang cendekiawan muslim, beliau banyak menghasilkan karya berupa hasil penelitian maupun mengarang buku (kitab). Diantara buku yang beliau tulis dan sudah diterbitkan diantaranya : Pemikiran al-Ghazali tentang etika politik (2011), Konsep Itzusu tentang Religius al-Qur’an, Konsep Pendidikan Agama Islam berwawasan Multikultural, Formulasi Manusia Taqwa dalam era Modern, Dinamika Keberagaman di Indonesia, dan lain-lain.

Aktifitas keseharian lainnya yaitu mengisi ceramah di masjid-mesjid dan majelis taklim kota Samarinda, serta menjadi khatib tetap di Mesjid Raya Samarinda, Mesjid Darul Muttaqin Islamic Center, dan lain-lain.

Diantara kalam beliau:

“Nasionalisme di Indonesia adalah Nasionalisme Tauhid (berdasarkan keimanan dan kemanusiaan) serta menolak prinsip-prinsip yang terkandung dalam nasionalisme barat. Dalam kaitannya dengan nasionalisme barat ini, Soekarno selanjutnya mengatakan : bahwa nasionalisme barat yang bersifat serang menyerang dan nasionalisme perdagangan yang memperhitungkan untung rugi, serta nasionalisme yang sempit, pastilah akan hancur dengan sendirinya. Sedangkan nasionalisme tauhid yang lebih bersifat kemanusiaan akan tampil sebagai pemenang”. (Ahmad Bukhari, “Internalisasi  Nilai-nilai Keislaman dan Kebangsaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri, Fenomena : Jurnal Penelitian, Vol. II, No. 2, 2019)

“Maka dari itu, perlunya internalisasi nilai-nilai keislaman dan kebangsaan di Perguruan Tinggi Islam sangat penting peranannya mengingat berbagai bentuk radikalisme agama kini telah masuk di Perguruan Tinggi Islam. Untuk itu, perlu memberikan pemahaman dan penghayatan kepada mahasiswa akan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan seperti membumikan spirit Islam rahmatan lil ‘alamin, yaitu memiliki faham tawasuth (moderat), ta’adul (bersikap adil), tasamuh (toleran), dan tawazun (harmoni). Dengan adanya keempat nilai-nilai keislaman dan kebangsaan ini maka ukhuwh Islamiyah, insaniyah, wathaniyah, dan alawiyah akan berjalan secara harmonis antar ummat beragama dan berbudaya di Nusantara”.

“Pancasila memiliki relevansi dan korelasi yang saangat erat dengan berbagai nilai-nilai luhur, salah satunya adalah nilai-nilai agama (Islam). Perumusan Pancasila juga tidak lepas dari nilai-nilai agama Islam, bahkan setiap sila yang terkandung dalam Pancasila memuat nilai-nilai keislaman yang begitu kuat dan mengakar dengan berpedoman kepada al-Qur’an.”

“Bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk. Karena itu, tidak patut bagi kita untuk memperlakukan manusia dengan seenaknya. Setiap manusia harus diperlakukan dengan baik, yakni dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain sikap untuk menjunjung tinggi martabat dan hak-hak asasinya”.

“Dengan kondisi masyarakat yang pluralistik, bangsa Indonesia rentan dengan sikap-sikap diskriminatif atas golongan-golongan tertentu. Akan tetapi dengan sila ini, bangsa Indonesia telah mengakui dan menghormati manusia bukan karena asal sukunya, atau asal agamanya, dan lain sebagainya melainkan menghormati manusia karena kemanusiaannya itu. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an Surah al-Hujurat (49) ayat 11 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka; dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik, dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik)  setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”

Drs. H. HUSNI MUHYIDDIN


Drs. KH. Husni Muhyiddin, lahir di Amuntai pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kotawaringin Timur dari tahun 1985 hingga 1989. Setelah itu beliau pindah menjabat sebagai Kepala Bimas Islam di Kantor Kementerian Agama Propinsi Kalimantan Tengah, hingga pensiun.

Diantara kalam beliau:

“Termasuk bangkai, menurut syara’ adalah hewan yang mati yang tidak disembelih oleh manusia dengan tujuan untuk dimakan, itu hewannya menjadi bangkai. Karena orang menyembelih hewan itu tujuannya adalah untuk dimakan, tidak untuk disia-siakan. Atau  menyembelihnya tidak benar. Menyembelih binatang itu harus memotong tempat masuknya makanan dan pernapasan, jangan salah, kalau salah maka hukumnya menjadi bangkai pula”.

“Hikmahnya diharamkannya bangkai, diantaranya adalah: Pertama, meskipun hewan itu halal tapi karena berubah menjadi bangkai sehingga ia menjadi jijik untuk dimakan, kotor. Kedua, memakai bangkai itu merendahkan martabat manusia dan menghilangkan kemuliaan diri dan kebesarannya. Ketiga, adanya semacam akibat yang tidak baik yang timbul akibat memakan bangkai tersebut”.

“Orang banyak mengatakan (bahwa) binatang yang paling bodoh itu adalah babi. Kalau kita memakan babi maka manusia akan terkontaminasi menjadi orang bodoh kaya (seperti) bodohnya babi”.

“Kalau kita memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah, atau menyebut nama selain Allah dengan makhluk, kalau kita ikut memakan berarti kita beribadah tidak kepada Allah”.