Selasa, 13 Agustus 2019

Drs. KH. KHAIRAN USMAN




Drs. KH. Khairan Usman bin Usman, lahir di Tuyau, Kecamatan Pematang karau, Kabupaten Barito Timur, pada 1 Januari 1946 M (bertepatan dengan 27 Muharram 1365 H). Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah S 1 Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari. Aktifitas keseharian adalah sebagai guru agama.
Berbagai jabatan yang pernah dipegang dinataranya Kepala Madrasah Aliyah Negeri 1 Amuntai, Kepala Madrasah Aliyah Normal Islam Putri (MA NIPI) Rasyidiyah Khalidyah Amuntai peride 2004 – 2006, Sekretaris II Dewan Pengurus Yayasan Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amuntai periode 2012 – 2017.
Beliau terkenal ahli dalam melukis kaligrafi dan menulis khat. Sehingga dalam berbagai ajang MTQ sering didaulat untuk menjadi anggota dewan juri, diantaranya pernah sebagai Ketua Dewan hakim Musabaqah Khattil Qur’an (MKQ).
Berbulang ke rahmatullah pada hari Selasa, 12 Agustus 2019 M (bertepatan dengan 12 Zulhijjah 1440 H). Dimakamkan di Kompleks Langgar “Al-Mukhtar” Desa Palampitan Hulu, berdekatan dengan Mufti H. Muhammad Said bin H. Muhammad Amin.

Sabtu, 10 Agustus 2019

Ustadz HAIRULLAH, S.Ag., M.Pd



Ustadz Hairullah, S.Ag. M.Pd aktif dalam organisasi ke Muhammadiyahan.

Diantara kalam beliau:

“Wali Allah itu benar-benar ada, dan benar pula ada karomah. Karena kalau sudah Allah yang membimbing, mata kita misalnya, maka mata kita (selalu tertuju) untuk keta’atan kepada Allah, untuk mencari keredhaan-Nya. Jadi anggota tubuh kita semisal kaki dan tangan kita tidak mungkin menuju maksiat. Nah jadi orang yang menjadi waliyullah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Itulah yang disebut wali Allah yang Haqqa tuqatihi, taqwa yang sebenar-benarnya bukan taqwa yang setengah-setengah”.

“Kewajiban-kewajiban yang dioberikan Allah kepada hamba-Nya cara mendekatkan diri itu, Allah itu cukup yang wajibnya saja (dikerjakan) suka sudah, tetapi apabila kita hanya melaksanakan yang wajib-wajib ini, seperti puasa wajib, shalat wajib, zakat dan lain-lain sebagainya, kita kada sampai kepada tingkat wali Allah, maka kata Allah Subhanahu wa ta’ala, : ‘hamba Ku mendekatkan diri dengan amalan-amalan, ibadah-ibadah nafilah, ibadah-ibadah tathawu atau ibadah tambahan, maka Aku lebih cinta kepadanya’ Jadi kalau kita ingin mendapatkan maqamah atau kedudukan wali maka kita harus melaksanakan yang sunnah-sunnah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam”.

Sabtu, 03 Agustus 2019

Ustadz H. UBAIDILLAH ALI





Ustadz H. Ubaidillah Ali lahir di Desa Tapus Dalam, Amuntai. Lengkapnya adalah H. Ubaidillah Ali bin H. Lukmanul Hakim bin H.Thabrani bin Yahya. Beliau adalah adik dari KH. An Noor Hidayatullah pengasuh ponpes dan majelis taklim “al-Maskuriyah” Sekumpul Martapura. 
Ustadz H. Ubaidillah Ali adalah alumnus “Darul Musthafa” Hadramaut, Yaman, dibawah pengasuhan al-Habib Umar bin Hafidz. Sekarang memimpin dan mengelola Majelis Taklim "Jalstatul Isnain" Muara Tapus, juga sebagai ketua bidang Syuriah pada “Majelis Rasulullah” Cabang Amuntai.


Diantara kalam beliau:

“Hendaknya setiap kali shalat, kita membayangkan bahwa itu adalah shalat kita yang terakhir. Kita harus menghadirkan khauf dan raja’. Khawatir atau takut sekali kalau shalat kita tidak khusyu’, dan sangat berharap agar ibadah kita diterima. Demikianlah perasaan kita ketika berdiri di hadapan Allah, sangat takut dan penuh harap. Seperti halnya, ketika seorang anak yang dimarahi dan diusir keluar rumah oleh orang tuanya, betapa tidak takut untuk kembali, dengan berurai air mata, sangat berharap agar kesalahan dapat diampuni. Demikianlah agar kita bisa khusyu’ sewaktu shalat”.

“Orang yang gemar mengisi waktunya dengan ibadah merekalah orang yang yakin dengan akherat. Mereka yang sabar terhadap celaan, mereka yang selalu menyambung silaturrahmi kepada orang yang memutuskannya, merekalah orang yang yakin dengan akhierat. Mereka yang hatinya bersih daripada iri dengki, daripada kekotoran dan dendam, dan benci kepada sesame muslim, marekalah orang yang percaya dengan akhierat. Orang yang menunaikan zakat, orang yang bersedekah dijalan Allah, merekalah orang yang percaya dengan akhierat dengan sebenar-benar keyakinan”.

“Kalau masih meninggalkan kewajiban, biar mulutnya berkata saya beriman kepada Allah, tapi itu kosong daripada hakikat iman. Mereka yang memutuskan silaturrahmi, sekalipun lidahnya mengatakan saya beriman, percaya kepada hari kiamat. Itu adalah ungkapan lidah yangkosong daripada hakikat yang sebenarnya. Orang yang membalas kejahatan dengan kejahatan, mereka adalah orang yang lidahnya saja mengatakan beriman, tetapi tidak masuk kedalam dadanya, tidak tertanam secara kuat akan makna yang sebenarnya”.

“Keimanan yang kuat kepada akhirat membuahkan kepada ibadah. Keimanan yang kuat kepada hari akhirat menjauhkan seseroang daripada setiap apa yang dilarang dan dibenci didalam agama Allah subahanhu wa ta’ala.”

“Allah subahanhu wa ta’ala di ayat ke-5 (surah al-Baqarah), memberikan kesimpulan, seakan-akan Allah menjawab sebelum kita menanya kepada Allah subahanhu wa ta’ala, (yaitu), “Ya Allah, seandainya kami beriman kepada Engkau, kami beriman kepada perkara yang ghaib, seandainya kami mendirikan shalat, menunaikan zakat, seandainya kami menyisihkan harta di jalan Engkau Ya Allah, (maka) apa yang kami dapat, apa yang akan kami hasilkan? (lalu) kata Allah Subhanahu wa ta’ala : “U-la ika ‘ala huda mmirabbihim, wa u-la ika humul muflihun”, merekalah, kata Allah subhanahu wa ta’ala, berjalan di atas jalan hidayah yang Aku berikan kepada mereka, dan merekalah orang yang betul-betul beruntung”.

“Keberuntungan yang sebenarnya adalah ketika kita mendapatkan kedekatan di sisi Allah subahanhu wa ta’ala. Keuntungan yang sebenarnya adalah ketika kita mampu menggunakan umum dijalan yang diredhai oleh Allah subahanhu wa ta’ala”.

“Dengan berkumpul dengan orang yang shaleh mendapatkan keuntungan yang sebenarnya, duduk di majelis taklim mendapatkan keuntungan yang sebenarnya, memandang daripada wajah zurriyat Rasulullah adalah keberuntungan yang sebenarnya, memandang daripada pewaris Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga keberuntungan yang sebenarnya. Menurut guru kita (maksudnya guru Ustadz Ubaidillah Ali) yaitu Habib Umar bin Hafidz : |Bagaimana seseorang itu akan beruntung kelak di akhirat dengan mendapatkan sorganya Allah subahanhu wa ta’ala kalau selama hidup di dunia ini dia tidak pernah menggunakan matanya untuk memandang wajah-wajah orang yang beruntung disisi Allah subahanhu wa ta’ala”.

“Bukan perkara dunia yang harus kita persiapkan, karena perkara-perkara yang bersifat dunia tidak akan dibawa ketika kita bertemu dengan Allah Subhanahu wa ta’ala”.

“Ada perkara-perkara yang harus kita jaga dan kita laksanakan dan kita pelihara, yang mana apabila perkara-perkara tersebut kita jaga maka akan menyampaikan cinta kita kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang dicari adalah mahabbah. Intisarinya adalah cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, cinta kepada agama, cinta kepada syi’ar yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

“Bahwasanya diadakannya majelis-majelis taklim, majelis dzikir, majelis tadarus al-Qur’an  adalah untuk menanamkan di dalam jiwa kita cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pada akhirnya akan membuahkan yang namanya mutaba’ah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala : “Qul in kuntum tuhibbunallah fattabi’uni yuhbibkumullah” (Katakanlah : Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka kalian akan dicintai Allah” (QS.Ali Imran (3) : 31). Lalu timbullah yang namanya keinginan untuk mengikuti jejak langkah dari Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti al-Qur’an dan mengikuti jejak langkah ulama-ulama orang-orang shaleh terdahulu”.

“Mahabbah itu andaknya didalam dada, itu sfatnya terhunjam dalam jiwa yang paling dalam, tidak bisa dilihat oleh mata secara dzahir, tidak dapat diketahui secara pandangan yang nampak dalam kehidupan dunia. Dan ketika perkara mahabbah atau cinta itu bersemayam di dalam jiwa, (maka)  itu harus kita nampakkan dalam realitas kehidupan dalam bentuk mengiuti jejak langkah Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

“Yang namanya menanamkan, memasukkan agama (kepada seseorang) tidak mesti harus langsung harus ini harus itu, tetapi tanamkan dulu penghormatan terhadap agama, tanamkan dulu memuliakan sesuatu yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala”.

“Ketika orang lain dapat musibah dan kita senang dengan mereka dapat musibah, (maka) senangnya kita dengan musibahnya orang adalah dosa bagi kita. Memang mereka bukan muslim, tetapi mereka adalah ummat Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ummat Nabi itu terbagi 2 (dua), yaitu ada yang namanya umat bil ijabah, ada yang namanya ummatu da’wah. Ummat bil ijabah adalah ummat yang menjawab atau memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya yaitu ummat Islam. Adapun ummatu da’wah adalah ummat golongan manusia yang harus kita sampaikan dakwah kepada mereka, ummat yang harus kita sampaikan rahmat Islam kepada mereka. Yang kita benci adalah kekafiran merek, yang kita benci adalah kekufuran mereka tetapi jasad batang tubuh mereka juga adalah ummat nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (maka) ketika kita senang mereka binasa, senang mereka meninggal dunia kena penyakit dan musibah seakan-seakan kita senang mereka mati dalam kekufuran, seakan-akan kita senang mereka mati dalam keadaan tidak mengagungkan kalimat La ilaaha ilallah Muhammad Rasulullah”

“Santri adalah seseorang yang walaupun beajar yang ke seratus kali, perhatiannya dan adabnya tetap sama dengan pertama kali yang ia belajar”