Jumat, 03 Mei 2024

Drs. H. MUHAMMAD MURDAN, M. Ag

 


Drs. H. Muhammad Murdan, M.Ag lahir di Hulu Sungai Utara, Jum’at, 4 Maret 1966 M (bertepatan dengan 11 Zulqaidah 1385 H). Adalah Dosen UIN Antasari spesialisasi Metodelogi Studi islam.

Diantara kalam beliau:

“Seiring dengan perkembangan masyarakat dunia yang sangat dinamis, baik dipicu oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, maupun didesak oleh kuatnya pengaruh organisasi-organisasi masyarakat dunia kontemporer, seperti negara bangsa (nation state), perserikatan bangsa-bangsa (united nation) dan globalisasi dunia (global world), tentu perbaikan, perubahan dan perkembangannya dalam Islam harus dilakukan untuk menciptakan Islam yang mampu beradaptasi dan bertahan (survive) lintas zaman, dari sifat respect ummat Islam inilah, diharapkan Islam mampu menjadi rahmat bagi alam semesta” (M Murdan, “Contribution of Islamic Law In Indonesian Legal Politics”, al-Ihkam, Jurnal Hukum Keluarga”, Jurusan Ahwal as-syakhsyiyah Fakultas Syari’ah IAIN Mataram, h. 54)

“Menyandingkan Islam dan konstitusi dalam masyarakat negara bangsa (nation state) tentu merupakan hal yang baru dalam arus negara bangsa belakang. Sebaliknya, kuatnya pengaruh pemahaman sekularisme dalam berbangsa dan bernegara berimplikasi besar terhadap pemisahan antara agama (religion) dan negara (state), sehingga asumsi yang dibangun adalah agama dan negara merupakan 2 hal yang berbeda dan harus dipisahkan” (h. 59)

“Secara konstitusional, Indonesia menunjukkan bahwa negara modern tidak selamanya identik dengan pemisahan antara kekuasaan negara dengan kekuasaan agama (sekuler). Melalui Pancasila sebagai landasan dasar berbangsa dan bernegara, Indonesia menempatkan kepercayaan atau agama sebagai sentral dalam menjalankan aktivitas kebangsaan. Sila pertama, misalnya menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa. Butir sila pertama ini diyakini sebagai landasan religius masyarakat Indonesia dalam bebrbangsa dan bernegara. Sila pertama inilai dilambangkan sebagai bintang yang dapat diartikan sebagai cahaya bagi silai-sila lainnya. Sehingga, suatu kewajaran apabila masyarakat Islam Indonesia sebagai mayoritas menghendaki peraturan perundang-undangan dan produk hukum lainnya memiliki kesejalanan dengan ajaran-ajaran yang berkarakter keislaman”. (h. 65).

“Fiqih Indonesia tidak akan mampu terealisasi selama fikih Indonesia mengacuhkan elemen penting atau ciri khas dari masyarakat modern yang dimaksud ialah memiliki struktur yang rapi dalam bentuk pemisahan kekuasaan (separation / distribution of power) yang dalam konteks Indonesia menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan Yudikatif. Apabila fikih Indonesia menghendaki implementasi yang nyata, maka tidak ada alasan untuk menolak formalisasi hukum Islam melalui trias politika diatas. Hukum Islam harus mampu diterima oleh kalangan eksekutif, legialatif dan mampu dijadikan acuan yuridis oleh badan yudikatif negara dalam memberikan putusan yang mengikat”. (h. 67)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar