Jumat, 19 April 2024

Ustadz KHAIRULLAH AZMI


Ustadz Khairullah Azmi bin Ridwan Hadi, lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Minggu, 30 September 1990 (bertepatan dengan 11 Rabiul Awwal 1411 H). Berpendidikan awal ketika memasuki SDN Sebangau uala (1995  2001) abupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Beliau kemudian menimba ilmu di Pondok Pesanten “bmul Amin” Pamangkih, kabupaten Hulu Sungai Tengah (lulus tahun 2006) dibawah asuhan KH. Muchtar dan Guru Jarkasi. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan agama di Pondok Pesantren “al hsan” (2006  2008) di bawah bimbingan KH. Luthfi Yusuf dan KH. Sufyan Noor Marbu al Hafidz.

Tahun 2011 menikah dengan seorang perempuan di Desa Tabukan Raya, Kecamatan Tabukan, Kabupaten Barito Kuala.

Tahun 2016 membuka kegiatan pembelajaran menghafal alQur’an yang dimulai dari rumah beliau, hingga kemudian pindah ke langgar/ mushalla terdekat, yaitu langgar at Taqwa.

Tahun 2022 membangun Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an “Ihya Ulumuddin”, di atas tanah yang diwakafkan oleh Muhammad Helmi dan dua orang lainnya.

Diantara kalam beliau:

“Apabila nanti al qur’an itu diangkat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, (sewaktu) dibuka mushaf, maka mushaf itu kadada lagi tulisannya. Maka disinilah beruntungnya para penghafal al qur’an, disinilah para penghafal al qur’an menjadi bintangnya, karena al qur’an diangkat semuanya, kecuali yang menyimpan alqur’an didalam dirinya, dan juga yang menyimpan al qur’an dalam hatinya”

“Apabila alqur’an dan itrah (keturunan Nabi) sudah diangkat, sudah tidak ada, maka itu salah satu dari ciri ciri kiamat. Siapapun mereka, alimkah kadakah, semua akan menjadi ciri datangnya kiamat, apabila mereka di jemput oleh Allah, maka kiamat sudah hampir dekat. Dan kemudian orang orang shaleh itu menggiring (mengikuti) jua diangkat, dijemput oleh Allah diambili tunggal ikungan (orang per orang)”.

“Al qur’an bukanlah kitab sejarah, namun sejarah ada dalam al qur’an”.

“Kita ini hari hari sembahyang, hari hari kita ini mengucap 2 kalimat syahadat, kita ikrarkan di lidah kita, namun dihati kita belum sebenarbenarnya “bi abdi.”  Kita mengaku bahwa kita ini sebagai hambanya Allah, namun kehidupan kita seharihari kada mencerminkan bahwa kita adalah hambanya Allah. Kenapa ? Karena 1) kita masih menjadi hambanya duit, 2) hambanya gawian, 3) hambanya jabatan, yang selalu (membuat) lupa dengan Allah tapi mengutamakan yang tersebut. Berarti kita ini? Cukupkah syahadat kita, apakah sampai sudah syahadat kita itu menjadikan kita menjadi seorang hambanya Allah”.

“Syahadat itu bukan Cuma kita ikrarkan di lisan kita, namun harus sampai ke hati, bahkan tingkah laku kita (juga harus) Asyhadu anla ilaaha ilallah”.

“(keadaan) sehari hari nang kita “garunumi” kita sangkali, (dimana) dalam kitab Kifayatul Ghulam, bahwa hal seperti itu merupakan salah satu pembatal syahadat. Jadi hatihati kita menyangkal sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kita bisa menjadi salah satu pembatal syahadat” 

 

 

KH. ABDURRASYID

 


KH. Abdurrasyid lahir di Sungai Tabukan, Alabio, Senin, 23 November 1953 (bertepatan dengan 16 Rabiul Awwal 1373). Berlatar belakang pendidikan awal madrasah di Desa Pasar Selasa, kecamatan Sungai Tabukan, kabupaten Hulu Sungai Utara. Kemudian mondok di Pondok Pesantren “Nurul Hijrah” Pasar Selasa di bawah pimpinan H. Aziz selama lebih dari 10 tahun.

Tahun 1976 beliau pergi berhaji dan mukim di Mekkah selama kurang lebih setengah tahun. Sekembali dari tanah suci, beliau kembali mondok di Pesantren Nurul Hijrah selama lebih kurang 7 tahun. Setelah lulus dari mondok, beliau diminta untuk membantu mengajar di pondok dimana beliau pernah mendapatkan bimbingan dan didikan.

Di antara guruguru beliau adalah KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul) selama kurang lebih 5 tahun, KH. Masrani di Desa Tungkap, dengan Habib Abdurrahman (Pekapuran Banjarmasin) untuk mengkaji ilmu makrifat.

Dalam mengembangkan syi’ar agama beliau mengelola dua buah mjelis taklim yang diberi nama “Nurul Muhibbin” bertempat di Desa Hambuku Pasar dan sebuah lagi di Desa Sungai Tabukan (Pasar Selasa), akan tetapi majelis yang di Sungai Tabukan ini mengalami musibah kebakaran pada tahun 2015.

Diantara kalam beliau:

“Jalan untuk makrifat ada 2 (dua) jalan, yaitu jalan “Tauhid” dan jalan “Nur”. Jalan Nur ini merupakan jalan pintas, singkat, cepat sampai kepada yang di tuju dan akhirnya Allah itu nampak. Kalau (melalui kajian) jalan Tauhid, Tuhan itu tetap rahasia, dan makrifat melalui jalan Tauhid (itu) jalannya panjang. “Nur Muhammad” sebaga jalan untuk makrifat, melalui Nur Muhammadlah kita bisa washil (terhubung) kepada Tuhan atau bisa makrifat kepada Allah. Sumber alam baik itu alam shagir maupun alam kabir (alam semesta), sorga dan nerka, diri kita jasmani dan rohani bersumber dari Nur Muhammad”.

“Bagi orang yang ingin makrifat kepada Allah dan bisa me “musyahadah” kan Nur Muhammad, maka hendaklah ia mengurangi makan, mengurangi tidur, mengurangi berkawan, dan mengurangi banyak bicara. Kalaunya tidak mau mengurangi (yang sedemikian) maka tidak akan berhasil mengkaji ilmu Nur Muhammad, (sehingga) kalau mau mendapatkan apa yang diinginkan maka harus ber “mujahadah” terlebih dahulu”.

“Kenyangi diri lawan shalawat atau banyakbanyak membaca shalawat, karena kalau kenyang dengan shalawat nanti Rasulullah yang menjadi gurunya atau yang membimbingnya. Kalau orang yang sudah menjiwai Nur Muhammad nanti Rasulullah yang menyambut ketika datang sakaratul maut. Sampai saatnya nanti keluar ia (Nur Muhammad), maka inilah yang dinamakan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Orang yang mengkaji Nur Muhammad dan dapat memesrakan Nur Muhammad pada sekalian alam, maka orang itu sudah fana, orang ini sudah mati maknawi. Kalau orang yang tidak mengkaji Nur Muhammad, maka orang itu akan merasakan sakit ketika meninggal dan dicabut rohnya, orang ini yang asalnya dari tanah kembali ke tanah, maka inilah yang dinamakan “kullu nafsin dza ikatul maut”.

“Janganlah memusuhi orang yang ahli ilmu batin, karena akan membuat “ketulahan” (kualat) dan akan menjadi linglung ketika mau meninggalnya”.

Ustadz AHMAD FAHMI


Ustadz Ahmad Fahmi lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Berlatar belakang pendidikan Pondok Pesantren “Ar Raudhah” dan Pondok Pesantren Datu Kalampayan. Bangil (Jawa Timur). Beliau merupakan pendiri dari Majelis Taklim “Sirru Salikin” Samarinda. Aktif memberikan pengajian dibeberapa tempat, seperti di majelis jalan Rapak ndah, di Sempaja, di Lok Bahu, di jalan kahoi, jalan Gunung Tunggal Loa Bakung, dan sebagainya.

Diantara kalam beliau:

“Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala itu bukan jisim (batang tubuh), amunnya (seandainya) ada orang menyatakan bahwa Allah itu mempunyai jisim, maka “Mujassimah” ngarannya.  (Allah itu) bukan pula Jauhar. Jauhar itu ada bentuknya, seperti ganal, halus, tinggi rendah, bulat dan sebagainya. Semuanya harus ditepis dengan “ Laisa kamislihi syai’un “. (Allah itu) bukan pula Aradh, seperti memiliki rupa. Bukan pula ittihad dan hulul, artinya bersatu kada Allah ta’ala itu, masuk kada jua. Menyatu dan bamasuk ke manusia (makhluk) itu kada.”

‘Allah ta’ala kada ba isi (tidak mempunyai) arah, baik atas, bawah, samping, dan sebagainya. Pasti yakin Allah di atas, lain. Jadi arah muka, belakang, atas, bawah, jauh, dekat kadada bagi Allah ta’ala. Jaka pang handak mendatangi Allah ta’ala ke Mekkah dahulu kita, itu arti ba arah, ba jarak, lain kada kaya (seperti) itu. “Laisa lahu makan wa la zaman”. Bagi Allah ta’ala itu tidak ada waktu dan tempat.”

“Dan bagi Allah ta’ala tidak ada had atau batasan”.

“Wa tilkal amsalu natribuha linnaasi la’allakum ya tafakkaruun. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan “amsal’ contoh perumpamaan di muka bumi ini bukan untuk perpegangan i’tikad, tidak, tetapi tujuannya adalah “la’allakum ya tafakkaruun”, yaitu supaya kita kawa berfikir, bukan berpegang teguh kepada misal. Bila berpegang teguh kepada misal, ya tertipu. Contoh : kapas jadi benang lalu jadi kain. Kapas tidak mungkin jadi benang, dan benang tiba tiba jadi kain, kalau tidak ada fa’il atau sang pelaku, yakni haliq, sang pencipta. Siapakah dia, (yaitu) sang penenum. Tanpa ada taangan penenun mana mungkin kapas tersebut berubah wujud menjadi benang dan kain, pasti ada fa’ilnya, sedang kapas adalah maf’ul nya atau makhluk”

“Yang namanya tuhan ya tetap Tuhan, dan hamba tetap hamba. Tidak bisa Tuhan menjadi hamba, dan tidak bisa pula hamba menjadi Tuhan. Muhammad ya Muhammad, Allah ya Allah. Kada mau Muhammad menjadi Allah, dan Allah jadi Muhammad. Sesat”.

“Yang mau (dapat) berubah itu Muhaddas, adapun zat wajibul wujud adalah mahasuci dari berubah ubah”.

“Alam semesta ini adalah sebagai mazhar wujud Allah, bukti adanya wujud Allah di balik wujud alam semesta ini. Lalu pandangannya itu  : kemanapun ia menghadap, maka disana ada mazhar wujud Allah, bukan di situ bersemayam wujud Allah”.

“Jadi ketika kita memandang alam semesta ini, yang banyak ini, yang kasrah ini, baik yang di langit ataupun di bumi, baik yang nyata maupun yang ghaib seperti alam jin, alam malaikat semua berasal dan bersumber dari yang namanya “awalal makhluq”. Siapa awalal makhluq itu yaitu Nur Muhammad. Arena Allah Ta’ala memerintahkan kita dalam alQur’an : wabtaghu ilaihil washilah, “carilah jalan menuju Allah Ta’ala”. itu dimapa caranya?  (maka) perantara atau washilah yang paling akrab dengan Dzatul Ahadiyah adalah Haqiqatu Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad”.

Ustadz Abu Mu'awwanah Ahmad Fauzi

 


Ustadz Abu Mu’awwanah Ahmad Fauzi adalah seorang da’i ilallah, lahir tahun 1985 di Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Beliau banyak menulis kitab berbahaya arab melayu, diantaranya : Aktsiru Dzikral Maut, Aqwalul Auliya, A’malu fissanah, Amaliyyah Khairiyah, ‘Iqdul Jauhar, Alwajibat, Kaifa Takunu Ghaniyan, Dakhirah Nafisah, Dakhirah Tsaminah, Fadhailul Ahli Bait, Mir’atul Fuad, Mi’rajul Musthafa, Mawahibul ‘idzam, Risalah Mahabbah, Uqubah Ahlul Kabair, dan lain-lain. Sedangkan kitab yang ditulis berbahasa latin (Indonesia) diantaranya : Dalil Wirid, Fiqih Keseharian, 50 masalah, Risalah Ad’iyyah, dan lain-lain.