Jumat, 05 Agustus 2022

Drs. NORYAMIN AINI, MA

 

Drs. Noryamin Aini, MA, lahir di Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah, Minggu, 5 Mei 1963 (bertepatan dengan 11 Zulhijjah 1382 H). Adalah pakar sosiologi hukum dan sosiologi agama dari IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Jakarta).

Memulai pendidikan dasar di MIN Telaga Silaba Amuntai dan Madrasah Tsanawiyah Negeri Amuntai. Setelah itu meneruskan ke ponpes Gontor (KMI Gontor Ponorogo). Pendidikan S-1 (1089) ditempuh di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengambil program studi Hukum Perdata dan Pidana Islam. Sedangkan jenjang S-2 beliau tempuh di The Flinders University of South Australia.

Aktif dalam berbagai kegiatan penelitian dibidang sosial dan keagamaan. Beberapa karya ilmiah yang beliau tulis diantaranya adalah: “Tradisi mahar diranah lokal ummat Islam (Mahar dan struktur sosial di masyarakat muslim Indonesia” (2014), “Saat hukum tidak berdaya; nasib perempuan korban kekerasan dalam himpitan hukum” (2011), “Inter relegious Marriage from socio historical Islamic perspective” (2008), “Gender dalam proses peradilan; Ideologisasi wacana dan interaksi di ruang pengadilan” (2008).

Diantara kalam beliau:

“Biasanya cara beragama seseorang adalah sesauatu yang paling susah diatur secara formal. Ketika kita berbicara tentang hal yang bersifat sangat pribadi, lalu agama coba mengaturnya, maka yang terjadi adalah munculnya orang yang mencari akal-akalan, mencari celah untuk berkelit (hilah)”

“Fundamentalitas adalah cara beragama yang kuat dalam mempertahankan pendirian iman”.

“Orang yang konservatif dalam beragama adalah orang yang tidak mudah menafsirkan agama dengan nalar diluar metode konvensional”.

“Fundamentalis beragama bisa menjadi akar eklusivisme dan perilaku intoleran, jika fundamentalisme dipaksakan diranah kehidupan sosial”

“Jika cinta adalah air deras yng mengalir, hukum dan agama adalah bendungan yang menghadang alirannya. Semakin besar cintanya, semakin kuat daya dobraknya. Volume cinta dapat melampaui bendungan itu, mendobrak atau merembes melalui sela-sela kecilnya. Orang-orang dengan cinta yang besar ini bakal melakukan segala cara agar bisa menikahi orang yang dicintainya”.

Ustadz H. ANWAR SUPIAN

 


Ustadz H. Anwar Supian adalah seorang da’i ilallah yang dimiliki oleh Kabupaten Hulu Sungai Utara. Beliau diantaranya mengisi pengajian untuk kaum wanita di majelis taklim “al-Ma’arif” Amuntai.

Diantara kalam beliau:

“Niat orang shaleh adalah (menjadi) amal-amalnya”

“salah satu perkara nang menghancur daripada ibadah kita adalah keras hati”

“Segala sesuatu kebaikan itu orang hasad pasti datang. Kenapa pasti ada nang mahiri-i. (ibaratnya) kalau kita menanam banih, bisa tumbuh kaena rumput, tapi kalau kita menanam gatah (karet) kada mau tumbuh banih. Apabila kita ma-ulah (mengerjakan) kebaikan pasti ada nang mahiri-i, ada nang mangganggu. Wajar. Dan apabila kita tu ma-ulah kejahatan maka kada timbul kebaikan”.

“Hari yang paling baik adalah hari ketika kita mati dalam keadaan Husnul Khatimah. Adapun yang perlu kita takutanakan adalah pertama, mati dalam keadaan tanggal (lepas) iman, mati dalam keadaan tidak membawa iman. Sebabnya karena kada bersyukur mendapat hidayah beriman. Kita ini untung pian, (dibanding) zaman Rasulullah, (dimana) abu jahal, abu lahab yang semasa dengan Rasulullah tetap kada mendapat petunjuk. Sedangkan kita lawan Rasulullah jauh jaraknya tangah dua ribuan tahun, dan kada suah tatamu Rasulullah, kada suah tatamu sahabat, tetapi kita beriman, yakin dengan Rasulullah”.

QADHI KH. ABDUL KARIM

 


Tuan Qadhi KH. Abdul Karim bin H. Abdurrasyid bin Tuan Lusuk, lahir di Amuntai, Kalimantan Selatan. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren “Nahdlatussalam” Desa Anjir Serapat Tengah (1948), yang merupakan salah satu pesantren tertua di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Beliau seorang ulama kharismatik yang Zuhud fiddin, seorang da’i ilallah yang mengabdikan dirinya untuk mensyi’arkan syari’at Islam dari majelis ke majelis sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk urusan dunia.

Semasa kecil beliau tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Beliau hanya menuntut ilmu atau mengaji baduduk dari rumah ke rumah tuan guru. Salah seorang guru beliau adalah Habib Ibrahim al-Idrus di kampung Daha Utara, Nagara. Sewaktu mukim di Mekkah al-Mukarramah, beliau juga sempat berguru dengan Syekh Abdul Qadir al-Mandaili dari Mandailing Natal, Sumatera.

Tidak berapa lama setelah kembali dari menimba ilmu di Mekkah, beliau kemudian diangkat menjadi Qadhi untuk wilayah Kapuas. Disamping sebagai Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nahdlatussalam yang pertama, beliau juga pernah menjadi Rais Syuriah Nahdlatul ‘Ulama Kabupaten Kapuas.

Sebelum nejadi Pondok Pesantren “Nahdlatussalam”, pada awal berdirinya dikenal dengan nama IMI (Ikatan Madrasah Indonesia) (1948), kemudian berubah menjadi PMII (Persatuan Madrasah Islam Indonesia) (1951), kemudian berubah lagi menjadi MWB 9 tahun (Madrasah Wajib Belajar 9 tahun) (1960-an) dan baru tahun 1975 berubah nama menjadi Pondok Pesanten “Nahdlatussalam”.