Kamis, 17 Agustus 2017

MUHAMMAD ROSADI, Lc







Ustadz H. Muhammad Rosyadi, Lc., M. Sy. lahir di Amuntai, Rabu, 24 Februari 1988 M (bertepatan dengan 6 Rajab 1408 H)  berprofesi sebagai guru ini adalah alumni Fakultas Syari’ah Islamiyah Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir.

Diantara kalam beliau:

“Kita pribadi wajib mengimani bahwasanya Allah itu Maha dekat lagi Maha mendengar. Jadi jangan pernah meragukan Allah itu tidak pernah mendengar apa yang kita pinta, dan jangan pernah juga menyangka bahwa Allah itu jauh. Allah selalu mengabulkan do’a hamba kapanpun dan dimanapun dia”

“Sifat kedekatan Allah dengan hambanya ada 2 (dua) yaitu dengan ‘alim, bahwa Allah itu Maha mengetahui dengan seluruh makhluknya. Artinya, Allah dekat dan dengan sifat dekat itu Allah mengetahui seluruh makhluknya. Kedua, kedekatan Allah kepada hambanya  yaitu ketika beribadah kemudian berdo’a. Disitulah letak dekatnya Allah terhadap hambanya”

“Barangsiapa yang berdo’a dengan khusyuk, dengan hati yang tenang, dengan penuh harapan akan takut tidak diterimanya do’a tewrsebut maka Allah akan mengabulkan do’a daripada hamba-Nya”

“Ayat : Ujibu da’wata da idza da’an, falyastajibuli wal yu’minubi, adalah 2 syarat. Ketika orang itu ingin do’anya dikabulkan. Seperti kronologisnya : wa idza sa’alaka ‘ibadi anni fa inni qaariib, Allah itu mengabulkan segala apa yang diminta olehnya. Boleh dikabulkan tetapi dengan 2 syarat : falyastajibuli wal yu’minubi. Mereka harus melaksanakan ketaatan kepada Allah. Ini syarat pertama, artinya kita disuruh Allah untuk ta’at dahulu. Adapun yang kedua wal yu’minubi, maknanya adalah mereka beriman kepada Allah, artinya yakin hanya Allah saja yang mengabulkan”.

“Kalau konsepnya Allah, maka  apabila kita berdosa maka kita celaka, tetapi apabila kita berbuat baik maka kita selamat. Yang jadi pertanyaannya, koq bisa berkali-kali kita berbuat dosa, berhari-hari kita berbuat dosa, berbulan-bulan kita berbuat dosa, bertahun-tahun lamanya  kita berbuat dosa. Koq bisa tidak celaka. Ini sebuah pertanyaan. Artinya semuanya apa maunya Allah. Apa maunya Allah adalah agar membuat kita sadar, bahwasanya semua yang kita peroleh saat ini adalah nikmatnya Allah.”

“Maka terhadap nikmat Allah, yang pertama kita harus bersyukur (berterimakasih), kedua, ta’adud bin ni’mah (menyebut-nyebut nikmat-Nya) dan yang ketiga menggunakan nikmat tersebut pada jalan yang baik”.

H. ALFIANNOOR, Lc. M.Pd.I



H. Alfiannor, Lc., M.Pd.I  lahir di Amuntai, Minggu, 4 Februari 1968 M (bertepatan dengan 5 Zulqa’dah 1387 H). Berlatar belakang pendidikan keagamaan, yaitu SD Sungai Karias Amuntai, kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), sedangkan untuk Madrasah Aliyah (MA) ditempuh di Madrasah Aliyah Gontor Ponorogo.
Beliau adalah alumni S-1 Madinah dan S-2 IAIN Antasari Banjarmasin. Sekarang menjadi pendidik pada MAN 5 Amuntai dan MA NIPI Rakha Amuntai, serta menjadi Dosen STIQ Rakha Amuntai.

Diantara kalam beliau:

“Barangsiapa yang biasa berinteraksi dengan al-Qur’an, barangsiapa yang menjadikan al-Qur’an sebagai bagian hidupnya, maka ia akan menjadi orang yang mulia. Karena al-Qur’an adalah kitab mulia, diturunkan pada malam yang sangat mulia, kepada Nabi yang sangat mulia, oleh malaikat yang sangat mulia, ditempat tanah yang paling mulia. (maka) barangsiapa yang bersentuhan dengan al-Qur’an, (seperti) ia bisa membaca al-Qur’an, ia mengetahui fadhai al-Qur’an, dsb., maka ia menjadi orang yang mulia juga”.

“Amal yang paling bagus itu adalah yang paling terus dikerjakan meskipun sedikit. Misalnya kalau kita sehari membaca banyak tetapi sehabis itu tidak lagi, maka yang sedemikian kurang baiknya. Jadi kalau kita ingin menjadikan al-Qur’an itu bagian dari kehidupan kita, maka membaca secara terjadwal itulah yang terbaik, meskipun membacanya hanya 1 lembar 1 hari tapi tetap terjaga”.

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat dengan al-Qur’an ini banyak kaum, dan menghinakan sebuah kaum juga dengan al-Qur’an ini (Hadits). Artinya, Allah Subhanahu wa ta’ala memuliakan seseorang itu dengan al-Qur’an. Ketika seseorang itu rajin baca al-Qur’an, senang membaca al-Qur’an, ingin belajar al-Qur’an, apalagi misalnya dia hafal beberapa ayat al-Qur’an, (maka) Allah akan mengangkat derajat orang tersebut. Dan kita melihat orang-orang yang hafal al-Qur’an, sering membaca al-Qur’an, dia mendapatkan kehidupan, artinya Allah menjamin kehidupannya, dan Allah mengangkat derajat orang-orang tersebut. Dan apa yang Allah angkat derajat dari orang yang hafal al-Qur’an itu, kada mesti dilihat dari sisi materinya. Bisa jadi orang tersebut diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan kelapangan hati, dia senang hidupnya, dan meski dengan materi seadanya tetapi bagi dia tidak ada masalah, dia hatinya ke Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak menggantungkan hati kepada manusia. Allahlah yang memberi rezki, dia lapang dada terhadap kehidupannya”.

“Tentang kehidupan kita mencari dunia, mencari penghidupan itu nggak ada habis-habisnya. Harus ada waktu yang kita bagi untuk ibadah, untuk cari nafkah, untuk baca al-Qur’an, untuk berdzikir, untuk ta’lim, untuk berdakwah dan sebagainya. Dan yang lebih penting daripada itu, adalah (tentang) niat kita. Dan dalam kita beramal mudah-mudahan amal itu tidak hilang begitusaja. Karena kadangkala amal yang kita kerjakan dengan susah payah pagi siang sore hilang begitu saja. Karena apa? Karena kita punya sifat dalam diri (seperti) riya, ingin ditonton orang, ingin pamer, ingin dilihat orang dan sebagainya. Hal sedemikian kadang menghilangkan amal yang sudah kita kerjakan. Oleh karena itu, ada sebuah do’a supaya kita ini tetap dalam ibadah dan diterima amalan kita tersebut tidak hilang. Do’anya dari Rasulullah, seperti : “Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lamu wa astaghfiruka lima la a’lamu” (Ya Allah, aku berlindung kepadaMu agar aku tidak menyekutukanMu sedang aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas perbuatan yang tidak aku ketahui)”.

“Perumpamaan orang yang ingat kepada Allah, berdzikir kepada Allah dalam kesehariannya dengan orang yang tidak berdzikir (adalah) seperti orang hidup dengan orang mati. Kalau kita ini kada badzikir, kayaknya kita ini orang mati yang bisa berjalan, orang mati yang bisa makan. Dzikir itu banyak ya seperti shalat, baca tasbih itu juga dzikir, dsb. Tapi kita tetap mengkhususkan waktu untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Diantaranya meskipun sedikit dzikir itu tapi kawa kita kerjakan secara terus menerus (dawam).”

“Apakah kita tidak malu meminta balasan yang besar dari Allah sementara pengorbanan kita sedikitpun belum ada”.