Jumat, 30 Maret 2018

KH. HAFIZH USMAN


KH. Hafizh Usman  bin Kiai Usman, lahir di Pandeglang, Banten, Minggu, 14 Januari 1940 M (bertepatan dengan 3 Dzulhijjah 1358 H) . Setamat dari sekolah formal, beliau menimba ilmu di Takhassus Diniyyah Aliyah, Ponpes Rakha Amuntai, atas beasiswa dari DR. Kh. Idham Khalid. Tahun 1960 – 1970 DR. KH. Idham Khalid banyak memberikan beasiswa kepada putra-putra dari tanah jawa untuk menempuh pendidikan di Ponpes Rakha. Tokoh lainnya yang juga pernah beliau kirim adalah KH. Umairah Baqir.


Sewaktu di Amuntai, beliau berguru dengan beberapa ulama, diantara dengan KH. Abdul Wahab Sya’rani.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Rakha, beliau melanjutkan kuliah di Kulliyatul Qadha, Fakultas Syari’ah di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Solo hingga selesai (1966).
Tahun 1967 beliau ikut membidani berdirinya Universitas Islam Pasundan, yang setahun kemudian berubah menjadi IAIN Sunan Gunung Jati Bandung.
Tahun 1968 diminta bergabung dengan Majelis Alim Ulama Jawa Barat yang kemudian berubah menjadi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat.
Tahun 1990 menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dan tahun 2000 terpilih menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat.
Beliau juga terjun ke dunia politik, menjadi anggota DPRD Jawa Barat mewakili NU (1971), kemudian terpilih lagi menjadi anggota DPR RI mewakili PPP (1977). Dan pada tahun 1989-1999 menjadi wakil Ketua Tanfidziyah Pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Kepedulian beliau terhadap pendidikan agama diwujudkan dengan mendirikan Perguruan “Anwarul Hidayah”, disamping itu juga aktif mengisi pengajian dibeberapa majelis taklim, dengan mengajarkan kitab diantaranya kitab “umdatul ahkam”.
Beliau telah berpulang ke rahmatullah pada hari Senin, 20 Oktober 2014 M

Diantara kalam beliau:

“Ulama berkewajiban membimbing masyarakat berdo’a dengan cara yang benar, misalnya dengan mengawali do’a tersebut dengan tobat dari segala kesalahan. Juga menyempurnakan  tobat dengan mengembalikan hak-hak orang lain, baik hak material maupun hak sosial”

“Seharusnya agama sebagai keyakinan dan cita-cita itu bisa menjadi pengawas perilaku umatnya. Namun, sepertinya belakangan ini masyarakat tidak lagi mempunyai kekuatan dan rasa mantap dalam memikirkan kemaslahatan umum”.

Ustadz HADERI IDERIS



Ustadz Haderi Ideris, lahir di Amuntai, Rabu, 15 Agustus 1973 M (bertepatan dengan 16 Rajab 1393 H). Berlatar pendidikan Madrasah Aliyah Negeri 1 Amuntai (1987), kemudian melanjutkan kuliah di IAIN Antasari Banjarmasin.
Beliau menjadi pendidik di Pondok Pesantren “Darul Ulum” Dea Kembang Kuning, Kecamatan Amuntai Tengah.
Disamping menjadi guru, beliau adalah Muqaddam Thariqat at-Tijani Amuntai (2018 hingga sekarang).
Tulisan beliau dibeberapa media memperlihatkan nuansa yang kental dengan dunia tasawuf. Seperti cerpen “Kujaga Rahasiamu”, “Rahasia yang tersingkap” dan “Rahasiakan Jati diriku”.
Beliau ada meninggalkan buku/kitab yang berharga, di antaranya “Mudah Menulis Cerpen”, Leutika Prio, Yogyakarta, 2011 dan buku “Bingkisan Rindu, Sukses Menggapai Ridha Ilahi”, Hemat Publishing, Amuntai, 2015.

Diantara kalam beliau:

“Menuntut ilmu agama adalah untuk menyempurnakan segala amal ibadah yang difardhukan, terutama ilmu tauhid. Ilmu tauhid merupakan akar semua ibadah karena ibadah yang tiada sempurna ilmu tauhid, pengenalan kepada Allah, tidak akan diterima” (dikutip dari Risalah “IlmuTauhid sebagai Pelita Hati” oleh Haderi Ideris)

“Ada banyak peringatan dan pelajaran yang bisa kita ambil dari proses pemakaman. Pertama, kita dingatkan bahwa kita dijadikan dari tanah, rendah dan hina. Yang kedua, kita diingatkan bahwa kita semua akan mati. Dari tanah kita dijadikan, ke tanah pula kita dikembalikan, dan dari tanah dibangkitkan kembali pada hari kiamat. Yang ketiga, mengingatkan kepada kita bahwa semua perhiasan dunia kita tinggalkan. Kita diantar kepemakaman tanpa membawa apa-apa kecuali tiga atau lima lapis kain kafan”. (dikutip dari buku karya Haderi Ideris, “Bingkisan Rindu : Sukses Menggapai Ridha Ilahi”, Hemat Publishing, Amuntai, 2015)

KH. BASRUDDIN


KH. Basruddin lahir di Amuntai tahun 1934 M (1353 H), adalah seorang ulama yang mengasuh sekaligus mengajar di Majelis Taklim “Miftahus Salam”, Desa Mantarim Kecamatan Anjir Pasar, kabupaten Barito Kuala. Beliau berpendidikan SD Islam selama 3 tahun, setelah itu mengaji kitab kuning dengan beberapa ulama.
Beliau berguru dengan beberapa tuan guru, di antaranya dengan M. Ramli (Tafsir), H.M. Amri (Hadits), H. Thantawi Z dan HM Syarwani (Akhlaq), H. Abdul Ghaffar (Tasawuf), dll.
Tahun 1965 beliau mulai pindah ke Desa Sungai Muhur Kecamatan Anjir Pasar. Mengajar di SD Sungai Muhur (1968), dan menjai pembina di MI Sungai Muhur (1973). Kemudian baru tahun 1980, beliau pindah ke Desa mantarim dan membuka MT “Miftahus Salam”, dan juga memprakarsai berdirinya mesjid didesa tersebut.
Setelah pensiun tahun 1988, beliau kemudian lebih aktif mengisi pengajian di beberapa Majelis taklim, diantaranya di MT Miftahul Huda Desa Waringin, MT Riyadlus Shalihin di Handil Ubak, dan MT Tanbihul Ghafilin di Desa Sungai Muhur.

Kamis, 22 Maret 2018

KH. UMAIRAH BAQIR



KH. Umairah Baqir bin KH. Muhammad Baqir Marzuki bin KH. Ahmad al-Marzuqi (Guru Marzuki) bin al-Mirsad bin Hasnun bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin al-Sultan al mulaqab bin laqsana Malayang (seorang sultan Melayu di Negeri Pattani Thailand Selatan). Kakek beliau, KH. Ahmad Marzuqi termasuk “The six teacher’s (enam pendekar) karena merupakan guru dari para ulama betawi dari akhir abad ke-19 hingga awal dan pertengahan abad ke-20.


KH. Umairah baqir lahir di Jakarta, Selasa, 17 Februari 1942 M (bertepatan dengan 30 Muharram 1361 H). Tahun 1960 beliau diajak oleh KH.Idham Khalid untuk mondok di Ponpes Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amunai.
Sewaktu mondok beliau termasuk santri yang aktif berorganisasi. Bahkan, sebelumnya, sewaktu mondok di Ponpes “al-Munawwir” Krapyak, Yogyakarta, beliau telah hafal 20 juz al-Qur’an. Keadaan tersebt, menjadikan beliau selalu ditunjuk untuk urusan “qira’atul Qur’an”, atau mewakili siswa untuk memberikan sambutan.
Tamat dari Ponpes “Rasyidiyah Khalidiyah” Amuntai, beliau melanjutkan ke IAIN “Antasari” Amuntai pada Fakultas Ushuluddin.
Selanjutnya, KH. Umairah Baqir mempersunting putri dari KH. Muhammad Khalid. Dengan demikian, beliau menjadi ipar dari KH. Idham Khalid.
Bakat berdakwah telah beliau miliki karena lahir dari keturunan ulama besar. Hal tersebut beliau manfaatkan dengan baik, hingga pada masanya beliau aktif memberikan pengajian-pengajian di beberapa Majelis Takli serta menjadi khatib di Mesjid Raya Amuntai.
Bakat politik beliau asah ketika terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Utara dan kemudian menjadi anggota DPRD Propinsi Kalimantan Selatan. Disamping bakat berdakwah dan berpolitik, beliau juga senang menggeluti dunia sastra. Dan pada tahun 1970, beliau turut menyertakan puisi dalam buku kumpulan puisi berjudul “Antologi Puisi Sepuluh Penyair Hulu Sungai Utara” bersama Amir Husaini Zamzam, dan lai-lain.

Diantara kalam beliau:

"Seandainya pohon rambutan kita tanam didalam mesjid Raya (Amuntai, pen.) ini, tentunya dia tidak akan tumbuh dan berkembang secara normal, karena tidak ada cahaya kehidupan. Demikian pula halnya dengan hati, bila tidak disinari dengan keimanan maka dia tidak akan tumbuh"