Minggu, 07 Januari 2024

KH. AHMAD BUSTANI

 


 KH. Ahmad Bustani bin Asnawi lahir di Desa Kaludan, Amuntai pada Sabt, 7 Juni 1941 (bertepatan dengan 13 Jumadil awwal 1360 H). Berlatar belakang pendidikan Sekolah Rakyat (SR) (1949). Kemudian ke Normal Islam selama 3 tahun. Umur 16 tahun melanjutkan sekolah ke Martapura, lulus pada usia 21 tahun.

Beliau kemudian mukim di Desa Pamangkih Baru, Kecamatan Tatah Makmur. Pada tahun 1985 di tempat ini beliau mendirikan Pondok Pesantren “Ishlahul Aulad” Desa Tatah Makmur, Kabupaten Banjar, Kalsel.

Berpulang ke rahmatullah pada Selasa, 18 April 2006, dimakamkan di Kompleks Pondok Pesantren “Ishlahul Aulad” Putra. Kepemimpinan pondok kemudian dilanjutkan oleh putra beliau yaitu KH. Ahmad Syairazi Bustani.

DR. IRFAN NOOR, M.Hum

 


DR. Irfan Noor, M. Hum adalah putra dari KH. Muhammad Laily Mansur. Lahir di Alabio, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Rabu, 14 April 1971 M (bertepatan dengan 18 Shafar 1391 H). Gelar sarjana pertama didapatkan setelah lulus dari IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, kemudian mengambil program Magister Ilmu Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM). Sedangkan gelar Doktor of Philosophy diperoleh dari Universiti Utara Malaysia.

Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Filsafat Islam pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin. Dalam organisasi kemasyarakatan, beliau aktif dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan, sebagai Anggota Komisi Hubungan antar Ummat Beragama.

Adapun buku beliau yang telah diterbitkan diantaranya : “Agama sebagai Universum Simbolik, kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger”, Pustaka Prima, Yogyakarta, 2011.

Diantara kalam beliau:

“Janganlah dalih kebenaran membuat kita menjadi bersikap pongah untuk memaksa nilai-nilai yang kita yakini untuk diikuti oleh orang lain”. (Petikan dalam “Syari’at Islam Versus Negara Kesatuan” )

“Mengapa dalam memahami agama, khususnya fenomena keislaman paradigma baru ini perlu kita apresiasi? Jawabannya tidak lain lantaran fenomena agama tidak bisa lepas dari wilayah “human construction”, dimana ia terlibat dalam kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal usul (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis), dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomis), dan bentuk kesadaran historis lainnya” (Petikan dalam “Model Pengembangan Kajian Filsafat, hal. 8)

“Agama, dengan demikian, sangat memainkan peran strategis dalam usaha manusia membangun dunia. Hal ini dikarenakan agama merefleksikan jangkauan terjauh dari eksternalisasi diri manusia, dari peresapan makna-maknanya sendiri kedalam realitas. Tatanan manusia dengan kerangka acuan agama diproyeksikan ke dalam totalitas kedirian”. (DR. Irfan Noor, M.Hum, “Agama sebagai Universum Simbolik, Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger”, Pustaka Prima, Yogyakarta, 2011, h. 112)

“Konstruksi-konstruksi historis aktivitas manusia dengan sendirinya dilihat dari suatu titik yang tinggi, yang meng-atas-i (trancend) sejarah maupun manusia. Konsepsi tatanan kelembagaan, melalui titik tolak ini, mengalami transformasi hubungan. Segala yang “di bawah sini” memiliki analoginya “di atas sana”. Berpartissipasi dalam tatanan kelembagaan dengan sendirinya memiliki makna yang juga berpartisipasi dalam kosmos ilahiah” (“Agama sebagai Universum Simbolik”, h. 113)

“Agama, dengan demikian, berfungsi melakukan stabilitas dan kontinuitas kepada formasi-formasi tatanan sosial yang secara intrinsik adalah rawan. Hal ini, mengingat bahwa tujuan fundamental dari legitimasi religius adalah transformasi produk manusia menjadi faktisitas supra manusiawi dan non manusiawi” (“Agama sebagai Universum Simbolik”, h. 125)

“Agama muncul dalam sejarah sebagai kekuatan yang memelihara dunia sekaligus sebagai kekuatan yang mengguncangkan dunia” (“Agama sebagai Universum Simbolik”, h. 129)

“Eksistensi manusia selalu berorientasi ke masa depan. Manusia berada dengan secara tetap memperluas “ada”nya menuju masa depan, baik dalam kesadaran maupun dalam segala aktivitasnya. Dimensi pokok “kemasadepanan” manusia inilah yang merupakan harapan. Melalui harapan manusia dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi disini dan sekarang. Manusia melalui harapan menemukan makna dalam menghadapi penderitaan yang hebat. Harapan manusia, dalam banyak hal selalu menegaskan dirinya dalam pengalaman yang mengungkapkan kekalahan final, yakni kematian” (“Agama sebagai Universum Simbolik”, h. 142-143)

Habib AHMAD bin HAMID alMUNAWWAR

 


Habib Ahmad bin Hamid al-Munawwar adalah pengurus Dewan Syuro Majelis Rasulullah Cabang Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Bertempat tinggal di Desa Tambalang Kecil, Alabio, Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Diantara kalam beliau:

“Apabila yang menyembahyangkan kifayah, atau menshalatkan orang yang meninggal, apabila orangnya banyak, maka insya Allah, Allah akan mengampuni orang yang meninggal itu, dan kita yang menyembahyangkan mendapatkan pahala yang ganal )besar)”.