Senin, 18 Desember 2023

KH. MUHAMMAD SALEH

 


KH. Muhammad Saleh bin KH. Abdussamad, lahir di Desa Murung Panti, Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Perjalanan hidup beliau diantaranya adalah memperdalam ilmu agama di kota suci Makkah al-Mukarramah selama kurang lebih 16 tahun. Dimulai semenjak beliau pergi ke Mekkah bersama kakek beliau pada tahun 1902. Dan pada tahun 1918, saat masih berkecamuk perang dunia ke-2, dengan menumpang kapal Inggris beliau kembali ke tanah kelahiran.

Dengan bekal pengetahuan agama yang dimiliki, kemudian beliau mendakwahkan agama kepada masyarakat, terutama dalam pengajaran fiqih. Banyak para tuan guru yang berguru dengan beliau, diantaranya Tuan Guru H. Muslim (desa Rantau Bujur), KH. Muhammad Rasyid (desa Pajukungan) sering berkonsultasi dan bermudzakarah tentang berbagai permasalahan agama.

Dalam menjalani kehidupan, beliau berpedoman kepada dua prinsip, yaitu melakukan Kasybus syakhsiyah (berusaha kreatif) untuk dunia, dan ‘amalul istiqamah untuk kehidupan akhirat. Sehingga dengan itu, selain mengajar ilmu agama, beliau juga menjadi agen kitab, menjadi penyalur dari penerbit Maktabah albabi, Mesir, untuk disalurkan ke Nagara, Alabio, Kelua, Barabai, dan sebagainya.

Beliau berpulang kerahmatullah pada tahun 1956. Di antara keturunan beliau yang menjadi ulama besar di Banjarmasin, adalah cucu beliau sendiri yaitu KH. Abdussyukur al-Hamidy.

Muallim BUSIRI HAMDAN

 


Muallim Busiri Hamdan, lahir di Kecamatan Amuntai Tengah, Jum’at, 26 Oktober 1984 H (bertepatan dengan   17 Safar 1440 H ). Adalah putra dari KH. Mahlani Hamdan (Pimpinan Pondok Pesantren “Darussalam” Muara Tapus, Amuntai).

Diantara kalam beliau:

“Maksud dan tujuan kita diciptakan kadada lain adalah untuk menyembah Allah saja. Macam kaya apa hendak menyembah lawan Allah Ta’ala, kada kawa amun kadada syari’atnya. Makanya, syari’at itu, dimisalkan seperti kapal, dengan kapal inilah kita hendak mengambil laksana hakikat. Difahamkan dari ini, bila seseorang hendak langsung ke hakikat tanpa syari’at dan thariqat, itu mustahil inya sampai. Macam be-apa garang lawan Allah Ta’ala, nang menyembah yang bujur-bujur, nang Sidin (Allah) akui bahwa itu merupakan penyembahan bagi sang pencipta apabila kadada syariatnya. (dimana) syariat itu adalah mengerjakan apa yang disuruh, dan meninggalkan apa yang disuruh meninggalkan. Macam apa hendak sempurna mengenal Allah Ta’ala, macam apa hendak mendapat mutiara yang mahal di bawah lautan, mun ke tengah lautan saja kada kawa karena kapalnya kadada. Sebaliknya, kapalnya ada atau bersyari’at orangnya tapi lautannya kadada, kada kawa jua. Jadi runtutannya harus satu per satu. Sudah mengaji syari’at hanyar thariqat hanyar hakikat. Kada boleh mengaji hakikat badahulu baru syari’at. Kada diperkenankan orang mengaji hakikat badahulu. Mustahil inya dapat permata. Misalnya, (seseorang mengaku) ulun dapat-ai jar permata, tahu-ai sudah ilmu hakikat. (Maka seandainya) bujur ilmu hakikat sudah, bujur sudah mengenal Allah Ta’ala, Cuma, mengenal Allah ta’ala itu kada bujurnya dimana ? yaitu dilepasnya (ditinggalkannya) syari’at dan tahriqat tadi”.

“Tidak benar seseorang berilmu hakikat apabila tidak ada syari’atnya. Macam apa hendak sampai fi wushuli ilal maqshud, sehingga syarat itu menjadi sebab untuk sampainya kepada tujuan kita”.

Ustadz A. RAFIK, S.Pd.I

 


Ustadz A. Rafik, S.Pd.I adalah salah seorang da’i ilallah dari Desa Kaludan, Kecamatan Banjang, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Lahir di Amuntai, Senin, 3 April 1978 M (bertepatan dengan 25 Rabiul Akhir 1398 H)

Diantara kalam beliau:

“Qur’an itu, dari qara’a yaqra’u qira’atan wa qur’anan. Kalau kita lihat dalam ulum al-Qur’an, ternyata qira’ah al-Qur’an itu bermakna maqruhun. Artinya, al-Qur’an itu bukan hanya sekedar pajangan bukan sekedar hiasan rumah, tapi dia itu (untuk) dibaca”.

“Kalau sudah terbiasa, insya Allah, sesuatu yang berat sekalipun itu akan menjadi mudah. (Tapi) kalau orang tidak terbiasa, walaupun ringan atau mudah, bagi dia menjadi berat”.

KH. UMAR BAQI

 


 KH. Umar Baqi bin H. Isa lahir di Desa Pakacangan, Amuntai Utara sekitar tahun 1905. Berlatar belakang pendidikan Sekolah Rakyat, kemudian ke Normal Islam Amuntai.

Beliau termasuk seorang qari pada masanya dan juga mengabdikan diri dengan membina masyarakat yang berminat dan berbakat untuk mendalami seni baca al-Qur’an.

Beliau aktif berdakwah dengan membuka majelis taklim di rumah beliau, menjadi imam dan khatib di mesjid Raya Amuntai, terutama di Mesjid di Desa Panyiuran.

Berpulang ke rahmatullah pada tahun 1970 dan dimakamkan di desa Pakacaangan.

Selasa, 14 November 2023

KH. AHMAD ROYANI

 

KH. Ahmad Royani bin Aini adalah salah seorang ulama yang lahir di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Berpulang ke rahmatullah pada tahun 2007. Dimakamkan di Kubah Desa Kembang Kuning, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Diantara kalam beliau:

“Kembalikan kepada Allah apa yang ber;laku (menimpa diri) itu  pahalanya sama dengan orang yang bersedekah. (asal) jangan ada berkaitan dengan makhluk. Seperti (ucapan) kenapa ikam kada..., jangan! Artinya kita terima dengan sabar dan redha, (karena) itu sudah ditentukan oleh Allah. (jadi) pahala sabar, dapat, ditambang pulang (lagi) pahala sedekah. Jadi jangan merasa kecewa pada makhluk dan jangan pula mengharap kepada makhluk. Jangan berpegang kepada makhluk, jangan kecewa dengan apa yang terjadi. Sebab kita harus berkeyakinan bahwa apa-apa yang terjadi di alam tidak terlepas dari ketentuan Allah Subhanahu wa ta’ala”

“Sifat (seorang) wali itu, mereka itu kada mau berkumpul lawan manusia terkecuali perlu, kada kawa kada. Amun kita bakumpul kada lapas daripada perkataan yang kada bafaedah atau perkataan sia-sia. Jarang kita itu bapandir ibadat, jarang. Kebanyakkan menguya (mengghiobah) orang”.

“Orang yang kadap hati itu, di waktu akhir umurnya dikhawatirkan. Karena daripada matinya hati orang yang lupa kepada Allah yaitu orang yang katuju (senang) duduk-duduk bakawan lawan orang yang tidak mengagungkan Allah”.

“Setisp orang yang ingat kepada dosa itu (dapat) menimbulkan sifat tawadhu’

“Setisp ibadat yang kita perbuat setiap hari itu, kada kawa menebus kesalahan kita kepada makhluk. Misal, kita ini maolah (menyebabkan) orang sakit hati, maka sekiranya seharian semalaman kita beribadah, maka kada kawa menebus kesalahan kita lawan orang (makhluk) itu”

“menurut sebagian auliya, lebih bagus menahan (menghindari) dosa daripada manggawi pahala”

“Arti manguya (mengghibah) itu menyambat orang baik berupa tingkah laku-kah, ucapan-kah, setiap orang bila mendengar orang kada katuju atau supan (malu), maka itu ngarannya manguya (ghibah). Amun orang tu kada supan, itu kada tamasuk manguya ngarannya”

“Sesudah beribadah tampakkanlah sikap khauf (takut), karena amal yang kita perbuat kada kawa atau belum tentu kawa menebus dosa-dosa kita, bila ini kawa kita nampakkan maka hilanglah sikap ujub”.