Minggu, 23 Januari 2022

USTADZ IRAWAN

 


Ustadz Irawan adalah salah seorang da’i yang berasal dari Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Diantara kalam beliau:

“Jadikanlah diri kamu itu disisi manusia itu (sebagai) orang yang jahat, sebagai orang yang paling hina, (karena) dengan kita merasa hina, merasa orang yang jelek, (maka) disitu kita pasti ingin menjadi orang yang baik”.

“Seseorang itu, kalau selagi di dunia (dimana) kalimat  “La ilaaha illallah” sering dibacanya dan sampai masuk ke hatinya, sampai ma’rifat, (maka) orang tersebut tidak akan takut lagi terhadap pertanyaan munkar nakir”.

“Khalifah ke-2 yaitu Amirul Mu’minin Sayyidina Umar ibnul Khattab, pernah suatu hari memegang ranting kayu, seraya berkata: “alangkah beruntungnya engkau wahai ranting kayu, seandainya aku (juga) dijadikan seperti engkau”, dan “alangkah berbahagianya, beruntungnya seandainya aku tidak dilahirkan oleh ibuku”. Lalu mengapa seorang khalifah, seorang amirul mu’minin yang zuhud terhadap dunia berkata sedemikian? Karena jar Sayyidina Umar : seandainya aku dijadikan ranting, dan seandainya aku tidak terlahir dari rahim ibuku, maka tidak ada satu amalanpun yang akan dihisab, tidak ada pekerjaan yang akan dipertanggung jawabkan. Karena kita manusia ini, (setiap) satu nafas atau satu biji nasi yang kita nikmati dari rahmat Allah, itu akan dipertanggung jawabkan. “Tsumma latus-alunna yauma-idzin ‘anin-na’iim” (kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang telah diberikan) (QS. At-Takatsur (102) : 8)

Senin, 17 Januari 2022

KH. ADARANI, SH, MHI

 

KH. Adarani, SH, MHI, lahir di Haur Gading, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Rabu, 8 Mei 1957 M (bertepatan dengan 8 Syawal 1376 H). Berlatar belakang pendidikan keagamaan, dimulai bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (1972), setelah itu ke Normal Islam Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) tahun 1979, kemudian Sekolah Persiapan (SP) IAIN Antasari tahun 1980.

Jenjang pendidikan S-1 beliau tempuh di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sultan Adam, Banjarmasin (1998), sedangkan untuk program magister bidang Hukum Bisnis Syari’ah beliau selesaikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin.

Karir sebagai hakim di Kantor Pengadilan Agama, diantaranya pernah bertugas di Pengadilan Agama Samarinda (1983 – 1992), Pengadilan Agama Pelaihari (1998), Pengadilan Agama Banjarbaru (2002 – 2004), Pengadilan Agama Marabahan (2009), Pengadilan Agama Amuntai (2012) dan Hakim Pengadilan Agama Banjarmasin (2016 – sekarang).

Diantara kalam beliau:

“Perlu kita renungkan. Bisakah shalat (yang kita kerjakan, pen) ini mencegah dari perbuatan munkar? Untuk bisa kita terhindar dari perbuatan munkar, tentu kita melaksanakan shalat itu dengan penuh kehati-hatian. (sehingga) dari syarat dan rukun-rukunnya itu harus kita kerjakan dengan teliti”.

“kita harus hati-hati dalam masalah ibadah. Belum lagi masalah makanan. Apalagi di zaman sekarang, banyak produk-produk makanan yang tidak mempunyai label halal. Bila tidak ada sertifikasi “halal”nya, lebih baik kada usah dibeli. Itu supaya kita berhati-hati”.

“Saksi nikah itu tidak sekedar mendengarkan ijab kabul, tetapi saksi nikah itu harus benar-benar mengetahui apakah anak yang dinikahkan ini anak bujurankan atau halalkah atau haramkah. Harus hati-hati, (jadi) harus mengetahui latar belakang orang yang dinikahkan tersebut”.

“Bagaimana cara menghitung zakat yang benar. Jadi istilahnya, jika kita bausaha, badagang (yaitu) bagaimana cara menghtung pangoleh (hasil), jangan (melihat, pen) hasil akhirnya. Kalau yang seperti pegawai, (dimana) pengawai banayak yang keliru dalam menghitung zakatnya. Misal, inya (dia) mahitung sisanya haja berapa pangoleh setahun. Misalnya 50 juta itu setahun. 50 Juta ini kada cukup. Padahal penghasilan pegawai itu tetap misalnya gaji 10 juta perbulan, jadi setahun 120 juta. 120 juta itu dikeluarkan 2,5 %, itu yaitu sekitar 2,5 juta. Kalau duit kita terakhir itu kurang dari itu, bebas bayar zakat. Tapi kalau duit kita yang ada mampu membayar zakat. Jangan menghitung 50 juta dengan membandingkan emas 86 gram dengan harga 1 juta, berarti amun kada cukup 86 juta kada kana zakat. Kada nangkaya itu pang”.

Drs. H. Alfian Khairani, M.Pd.I

 

Drs. H. Alfian Khairani, M.Pd.I, lahir di Pandulangan, Alabio, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Sabtu, 17 Maret 1956 H (bertepatan dengan 4 Sya’ban 1375 H). Pendidikan S-1 dan Magister beliau tempuh di Institur Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari, Banjarmasin.

Disamping menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, beliau juga memangku berbagai jabatan diantaranya Direktur Pendidikan Yayasan Ukhuwah Kalimantan Selatan, Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan, Wakil Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Banjarmasin, dan lain-lain.

Telah berpulang ke rahmatullah pada hari Senin, 23 November 2020 M atau 8 Rabiul Akhir 1442 H.

Diantara kalam beliau:

“Pendidikan Islam merupakan sarana utama bagi ummat manusia untuk dapat melaksanakan tugas pokoknya dimuka bumi, baik sebagai hamba Allah Subhanahu wa ta’ala maupun sebagai khalifah yang bertugas untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi, tanpa adanya proses pendidikan islam akan sangat sulit bagi setiap ummat manusia dapat melaksanakan tugas pokoknya tersebut. Pentingnya pendidikan Islam itu bagi manusia khususnya ummat Islam dikarenakan cakupan dan jangkauan pendidikan Islam sangat universal dan lengkap, pendidikan Islam bermanfaat bagi kehidupan dunia maupun ukhrawi. Prinsip pendidikan Islam meliputi semua komponen pendidikan dan harus dijadikan kerangka dasar pendidikan. Dengan  pendidikan Islam yang teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari akan tercipta kemakmuran, dan kesejahteraan kehidupan ummat manusia diseluruh penjuru dunia” (Alfian Khairani, “Prinsip-prinsip Pendidikan Islam”, Taarbiyah Islamiyah : Jurna Ilmiah Pendidikan Agama Islam, Vol. 3 No.2 Tahun 2013).

“Salah satu komponen yang sangat penting dalam pendidikan adalah pendidik, dalam hal ini ada beberapa istilah yang dikemukakan para ahli, seperti: al-Mu’allim (guru), al-Mudaris (pengajar), al-Muaddib (pendidik), dan al-walid (orang tua). Di sini kita tidak membahas tentang perbedaan istilah tersebut, yang kita bahas adalah tentang bagaimana pendidik yang ideal. Pendidik yang ideal menurut pandangan Islam adalah : 1) lebih dahulu mengetahui apa yang perlu diajarkan, 2) mengerti tentang keseluruhan bahan yang akan diajarkan, 3) mampu menganalisa materi yang akan diajarkan, dan dapat menghubungkannya dengan konteks keseluruhan, 4) lebih dahulu mengamalkan apa yang akan diajarkan, 5) dapat mengevaluasi proses dan hasil pendidikan, 6) dapat menghargai hasil siswanya, dan memberi hukuman (bagi) yang salah” (idem)

“Menurut Islam, syarat-syarat pendidik yang baik adalah memiliki kedewasaan, identifikasi dengan norma, identifikasi dengan anak, punya knowledge, punya skill, attitude, berwibawa, ikhlas dalam pengabdian, memiliki sifat keteladanan, zuhud, pembersih, pemaaf, kasih sayang, jujur dalam keilmuan, dan adil dalam segala hal” (idem)

“Dalam pendidikan Islam, pendidikan akan melahirkan sifat kehambaan sempurna yang melahirkan ibadah yang menghasilkan dampak positif seperti : menumbuhkan kesadaran berfikir, mempererat hubungan dengan sesama, melahirkan kemuliaan diri, menjadikan orang selalu berserah diri kepada Allah, melahirkan kebesaran kaum muslimin dimanapun ia berada, dan memberikan kekuatan rohaniah”.

“Pendidikan Islam itu sebenarnya tidak mengenal adanya pemisahan (dikotomi) antara ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti sains, biologi, fiisika, kimia, dan sebagainya dengan ilmu pengetahuan agama inilah tuntunan aqidah Islam. Dalam Islam semua ilmu pengetahuan dipandang sama, asalkan sama-sama dapat mendorong/ motivasi pemiliknya untuk lebih giat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala serta ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”. (idem)