Senin, 17 Januari 2022

KH. ADARANI, SH, MHI

 

KH. Adarani, SH, MHI, lahir di Haur Gading, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Rabu, 8 Mei 1957 M (bertepatan dengan 8 Syawal 1376 H). Berlatar belakang pendidikan keagamaan, dimulai bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (1972), setelah itu ke Normal Islam Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) tahun 1979, kemudian Sekolah Persiapan (SP) IAIN Antasari tahun 1980.

Jenjang pendidikan S-1 beliau tempuh di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sultan Adam, Banjarmasin (1998), sedangkan untuk program magister bidang Hukum Bisnis Syari’ah beliau selesaikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin.

Karir sebagai hakim di Kantor Pengadilan Agama, diantaranya pernah bertugas di Pengadilan Agama Samarinda (1983 – 1992), Pengadilan Agama Pelaihari (1998), Pengadilan Agama Banjarbaru (2002 – 2004), Pengadilan Agama Marabahan (2009), Pengadilan Agama Amuntai (2012) dan Hakim Pengadilan Agama Banjarmasin (2016 – sekarang).

Diantara kalam beliau:

“Perlu kita renungkan. Bisakah shalat (yang kita kerjakan, pen) ini mencegah dari perbuatan munkar? Untuk bisa kita terhindar dari perbuatan munkar, tentu kita melaksanakan shalat itu dengan penuh kehati-hatian. (sehingga) dari syarat dan rukun-rukunnya itu harus kita kerjakan dengan teliti”.

“kita harus hati-hati dalam masalah ibadah. Belum lagi masalah makanan. Apalagi di zaman sekarang, banyak produk-produk makanan yang tidak mempunyai label halal. Bila tidak ada sertifikasi “halal”nya, lebih baik kada usah dibeli. Itu supaya kita berhati-hati”.

“Saksi nikah itu tidak sekedar mendengarkan ijab kabul, tetapi saksi nikah itu harus benar-benar mengetahui apakah anak yang dinikahkan ini anak bujurankan atau halalkah atau haramkah. Harus hati-hati, (jadi) harus mengetahui latar belakang orang yang dinikahkan tersebut”.

“Bagaimana cara menghitung zakat yang benar. Jadi istilahnya, jika kita bausaha, badagang (yaitu) bagaimana cara menghtung pangoleh (hasil), jangan (melihat, pen) hasil akhirnya. Kalau yang seperti pegawai, (dimana) pengawai banayak yang keliru dalam menghitung zakatnya. Misal, inya (dia) mahitung sisanya haja berapa pangoleh setahun. Misalnya 50 juta itu setahun. 50 Juta ini kada cukup. Padahal penghasilan pegawai itu tetap misalnya gaji 10 juta perbulan, jadi setahun 120 juta. 120 juta itu dikeluarkan 2,5 %, itu yaitu sekitar 2,5 juta. Kalau duit kita terakhir itu kurang dari itu, bebas bayar zakat. Tapi kalau duit kita yang ada mampu membayar zakat. Jangan menghitung 50 juta dengan membandingkan emas 86 gram dengan harga 1 juta, berarti amun kada cukup 86 juta kada kana zakat. Kada nangkaya itu pang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar