Tuan Guru KH. Midhansyah bin Muhammad, lahir di Sungai Durait Tengah, Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara, pada tahun 1954. Pendidikan Dasar dan Menengah ditempuh di desa kelahiran di Desa Sungai Durait Tengah. Setelah itu meneruskan pendidikan di Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) setingkat Aliyah di kompleks Rakha Amuntai. Beliau kemudian melanjutkan kuliah ke Fakultas Ushuluddin Amuntai mengambil jurusan teologi. Namun akibat adanya pengintegrasian Fakultas Ushuluddin yang ada di Amuntai dan Fakultas-Fakultas lainnya di Kabupaten lain ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Banjarmasin (1978 – 1980) beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya padahal sudah menjalani 8 semester perkuliahan.
Teman-teman beliau semasa kuliah di Fakultas Ushuluddin Amuntai, diantaranya KH. Ahmad Zamani, M. Ag (Alabio), DR.H. Hadariansyah AB, MA (Amuntai), DR. H. Mirhan AM, M.Ag.
Disamping mendalami pendidikan formal, beliau juga berguru dengan beberapa ulama, terkhusus dalam mengkaji ilmu tasawuf dan ma’rifat, diantaranya dengan KH. Asri Usman (Tamban), Kai Hamzah (Ampah) dan KH. Ismail bin Abbas di Saka Bunut.
Pada tahun 2019 beliau mendirikan Majelis Taklim “Ar-Rahmah” yang bertempat di rumah beliau sendiri di Desa Rantau Karau Raya.
Diantara kalam beliau:
“Allah Subhanahu wa ta’ala itu memilih seorang wali-Nya atau sebagai wali Allah itu adalah orang yang dikehendaki oleh Allah. Dan para wali-wali Allah itu ada yang masyhur dan ada yang mastur. Artinya ada yang dikenal dan ada yang tidak dikenal. Kenapa ada wali-wali Allah yang tidak dikenal? (adalah) agar kita berhati-hati, hendaklah kita kepada siapapun harus Husnu dzan, sangka baik. Kalau-kalau seseorang itu adalah wali, karena wali itu ada yang diketahui dan ada yang kada diketahui oleh kita”.
“Para wali-wali Allah itu adalah membawa, memakai, mengamalkan ilmu-ilmu rahasia. Orang menghampirkan diri kepda Allah itu adalah daripada-Nya kepada-Nya, artinya dari Allah jua kepada Allah. Bertaqarrub, berhampir kepada Allah adalah daripada Allah jua, karena kita kada kawa bahampir lawan Allah kalau tidak daripada (karena) Allah jua”.
“Para wali-wali Allah itu adalah membawa, memakai, mengamalkan ilmu rahasia ketuhanan. Artinya ilmu keimanan kepada Allah. (dimana) kita ini baiman sabarataan sudah lawan Allah, cuman kebanyakkan masih baiman lawan nama, baiman lawan ngaran. Allah itu adalah isim tafdhil, nama kemuliaan, nama keagungan. Jadi kalau Allah itu nama, tapi mustahil nama itu kadada nang ampun nama. Mustahil. Jadi setiap nama itu psti ada nang ampun nama. Kita sudah salawasan baiman lawan ngaran kalau kada kita pelajari, kita tuntut. Inilah yang diisyaratkan dibawa oleh Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam ketika masih di Mekkah kurang lebih 13 tahun. (yaitu) hanya menanamkan keimanan, menanamkan ketauhidan, melepaskan daripada kesyirikan. Kita baiman lawan Allah, beriman dengan yang bernama Allah, berarti lepas kita dari syirik. Tapi kalau kita beriman dengan nama, beriman lawan ngaran haja, mungkin masih ada syirik khafi didalam bathin kita”.
“Kata Nabi : mula-mula agama itu mengenal Allah. Tidak dikatakan beragama kalau seseorang itu tidak kenal Allah, kada pinandu lawan Allah. Kalau kita beribadah kada pinandu lawan Allah, maka kada sah baibadah kalau kada kena lawan yang disembah. Allah yang mana ? (yaitu) Allah yang “Laisa kamitslihi syai’un”. Nang yang bernama Allah itu coba buka ayat al-Qur’an, nang bernama Allah itu terdapat didalam ayat Kursi. Diiisitu ada dipadahakan : “Allahu la ilaha illa huwal hayyul qayyum”, Allah ta’ala itu tidak ada Tuhan melainkan Dia yang hidup lagi berdiri sendiri. Dan inilah yang diisyaratkan dalam al-Qur’an : “wa fi anfusikum afala tubshiruun” (QS. Az Zariyat : 21), “dan didalam diri kamu itu apakah tidak kamu kenal, apakah kamu tidak pinandu?” (bahwa) nang hidup dalam diri kamu itu adalah Aku, jar Allah Ta’ala”.
“Ilmu yang paling dimuliakan oleh Allah adalah ilmu rahasia ketuhanan. Lihat hadits Nabi yang mengatakan : Innallaha la yandzuru ila suwarikum, wa la ila ahshabikum, wa lakin yandzuru ila qulubikum, Allah ta’ala kada memandang kepada jisim, kada memandang penampilan, kada memandang rupa (dsb), tetapi yang dipandang adalah hatimu, bathinmu. Nah jadi ilmu bathin ini yang paling mulia. Lihat kata Allah didalam al-Qur’an : “Wa lal akhiratu khairul laka minal ulaa” , akhirat lebih mulia daripada duni, maksudnya bathin lebih baik dari zahir. Jadi kada sempurna yang zahir apabila tidak mengetahui yang bathin”.
“Untuk mengenal Tuhan kenali a’yan kharijah ini, yang mana Tuhan tetap laisa, kecuali bagi orang yang Zauq. Bila ada hidup, ada ilmu, bila ada hidup ada kuasa, bila ada hidup ada berkehendak. Apa saja yang kita kerjakan pasti ada kehendak. Kata Nabi : Innamal ‘amalu bin niyat. Yang dinamakan niat ini ia yang berkehendak, yang berkehendak itu tidak lain juga yang hayat. Jadi segala-galanya apa yang berlaku bagi diri kita masing-masing rasa akan rasa yang hidup, jangan lagi ada rasa yang lain, makan rasa yang hidup, bekerja rasa yang hidup. Kalau sudah merasakan berarti sudah tidak lagi lupa kepada Allah”.
“Kalau sudah kenal, maka akan bisa meringankan siksa keluarga. Jadi si hayat tadi sentralnya “wa fii anfusikum afala tubshiruun”, yang hidupnya yaitu didalam Sirr tadi. “Wa huwa ma’ahum ainama kuntum”, tapi kita tidak juga bersatu, kalau bersatu maka akan kafir, kalau kita bersatu, maka akan relasi dengan Tuhan, jadi yang ada ini karena Tuhan yang jadi kita, kalau kita yang bertaqarrub kepada-Nya, kalau kita yang mengenal kepada-Nya, kafir, kita tidak ada, yang mengenal Allah itu Allah juga. Kata Rabiatul Adawiyah \, “Araftu Rabbi bii Rabbi wa laula Rabbi ma’araftu Rabbi”.
“Kalau si hayat itu tidak ada maka tidak bisa apa-apa semuanya, oleh karena itu tubuh yang kasar ini tidak bisa apa-apa, dalam pembicaraannya tubuhyang kasar ini dikatakan mati, tidak berdaya upaya. Hayat inilah hakikat Muhammad, hakikat Muhammad ialah yang hidup ini. Yang di Mekkah itu Uswatun Hasanah, kebetulan sama bernama Muhammad, yang hakikat Muhammad itu artinya yang hidup”.
“Kita sudah daripada Nur Muhammad, mengaku diri bernama Muhammad. Jadi yang bernama Muhammad ini tidak lain daripada yang hidup, makanya orang mengaku dirinya bernama Muhammad atau Ahmad maka akan ada jaminan, dari hadist dikatakan, “Demi ketinggian-Ku demi Kebesaran-Ku, tidak akan masuk neraka bagi orang yang mengaku dirinya bernama Ahmad atau Muhammad”.
“Yang hidup didalam rahasia, bernyata lalu bernama nyawa. Si nyawa bernyata, berzahir bertajalli lalu bernama batang tubuh. Batang tubuh ini kalau mengetahui ilmu ini, maka bernama insan kamil. Kita ini yang dicari manusia yang sempurna, kalau asal menjadi manusia saja, rugi.”
“Adam berasal dari tanah, tanahnya berasal dari air, angin, api yang juga berasal dari Nur Muhammad.Berarti yang zahir Nur Muhammad, yang bathin Nur Muhammad juga. Satukan saja lagi. Nur Muhammad Zahir dan bathin. Sehingga diri kita bernama Muhammad pada hakikatnya, karena terbitnya dari Nur Muhammad, sedangkan Nur Muhammad itu Mazhar wujudnya Tuhan. Kalau tidak ada Muhammad tidak nyata Tuhan dan tidak zahir Tuhan, kalau tidak ada diri kita yang ada ini tidak zahir Tuhan, kalau Tuhan tidak zahir tidak bisa mengenal Tuhan. Karena Tuhan zahir (maka) kenali dengan yang zahir dan rasakan dengan yang bathin, karena kezahirannya daripada yang bathin, kalau sudah sering merasakan yang bathin, sudah sering memakai atau merasakan sampai pada akhirnya yang zahir ini (adalah) ia yang bathin”
“Andakannya syariat didalam batang tubuh. Nang digawi batang tubuh ini namanya syari’at. Ada yang mengatakan syariat itu ya sembahyang. Sembahyang itu gawian syariat, gawian batang tubuh. Thariqat itu pang? Thariqat itu andakannya dihati. Hakikat andakannya pada Allah. Ma’rifat andakannya pada sirr, pada rahasia diri kita. Jadi amun kaya itu, asalnya daripada sirr batampai banyata pada roh, bazahir kepada hati, bazahir kepada batang tubuh lalu batamu dengan nang digawi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar