Selasa, 18 Juli 2017

KH. ASY'ARI SULAIMAN

KH. Asy’ari Sulaiman bin H. Sulaiman, lahir di Desa Tangga Ulin, Amuntai, tahun 1909 M (1327 H). Beliau adalah adik dari KH. Juhri Sulaiman.

Diantara guru-guru beliau yaitu Taun Guru H.  Muhammad Chalid (Tangga Ulin), KH. Muhammad Arsyad, KH. Jamal (Lok Bangkai), KH. Ahmad (Sungai Banar), KH. Abdurrahman (Martapura), dan KH. Abdurrasyid (Pekapuran) pendiri Ponpes Rakha.

Selain banyak “mengaji duduk” dengan beberapa ulama besar di Amuntai, beliau juga memperdalam ilmu langsung ke lumbung keilmuan agama Islam di Mekkah al-Mukarramah. Aktivitas sepulang dari Mekkah adalah mengisi beberapa majelis taklim dan menjadi pendidik di madrasah Rasyidiyah (sekarang Ponpes Rakha) dan Madrasah Islam Patarikan, dengan tidak melupakan aktivitas keseharian beliau berdagang. Ketika Fakultas ushuluddin dibuka pada tahun 1961 beliau dipercaya untuk mengajar mata kuliah Ilmu Kalam, atau ilmu tauhid. Fakultas Ushuluddin ini dalam perkembangannya digabung dengan fakultas lainnya hingga menjadi bagian dari Universitas Islam Antasari (UNISAN) yang kemudian berubah menjadi  IAIN Antasari (sekarang Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari).

Diantara murid-murid beliau yang kemudian menjadi ulama dan tokoh terkenal adalah KH. Idham Khalid (Mantan Ketua Umum PBNU terlama, mantan Ketua DPR/MPR RI, dan Ketua DPA RI), KH. Abdul Muthalib Muhyiddin (Pengarang buku agama terkenal), KH. Ja’far Saberan (Ketua MUI Kaltim, pengarang buku), KH. Muhammad Tsani (Pendiri Pondok Pesantren al-Falah Banjarbaru), KH. Mansyur (ulama ahli tauhid), KH. Nafiah (Pengasuh Pondok Pensantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai).

Dalam keorganisasi beliau aktif di “Musyawaratut Thalibin” Cabang Amuntai, dan kemudian bergabung dengan Nahdlatul Ulama (1953) dengan posisi sebagai Ketua Tanfidziyah NU yang pertama di Amuntai. Pada tahun 1955 ia dipercaya menjadi anggota DPR Tk. II mewakili Partai Nahdlatul Ulama.

Beliau mewariskan beberapa buah kitab, diantaranya “Siraj al-Mubtadiin fi ‘aqa’id al mu’minin ” dan “Mari Berpuasa Berzakat Fitrah (diterbitkan oleh al-Musyawarah Kandangan, 1953).

Meninggal pada tahun 1981 dalam usia 72 tahun dan dimakamkan didekat makam mertua beliau, H. Muhammad Chalid (orang tua Dr (Hc) KH. Idham Chalid)  di Desa Patarikan, Amuntai.

Diantara kalam beliau:

“Sesungguhnya telah menjadikan Allah Subhanahu  wa ta’ala akan kita manusia dan dilebihkannya atas segala binatang, dengan diberi akal dan lidah dan dikaruniainya pikiran dan paham bagi belajar segala ilmu pengetahuan dan dijadikannya segala ilmu itu makanan nyawa (rohani) dan buahnya iman (yakni ma’rifat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala).  Maka wajiblah kita syukuri akan karunia Allah itu, dengan menuntut segala ilmu buat menyempurnakan segala amal ibadah kita yang telah difardhukan (diwajibkan) Allah akan dia. Terutama di dalam ilmu Tauhid yang ia adalah sebagai “asal” (akar) bagi ibadah, karena ibadah yang tiada sempurna ilmu tauhid yakni pengenalan (ma’rifat) kepada Allah tiada akan diterima”

“Jadinya wajiblah pula kita mengusahakan akal itu supaya dapat pengenalan yang sempurna dengan sehabis-habis usaha seperti belajar pada ulama-ulama dengan sungguh (tekun) dan dengan kitab-kitab dan mudzakarah dan muthala’ah (menelaah) dimana-mana masa.”

“Janganlah kita merasa mempadai (memadai/ cukup) dengan mendengar-dengar saja, karena ilmu tauhid ini memang payah (tingkat kesulitan tinggi untuk memahaminya). Dan janganlah pula kita sayang membuang tempo dan harta buat ilmu, karena inilah nanti yang menyelamatkan kita di dalam dunia dan akhirat”.

“Janganlah menuntut ilmu itu sebagai ditaruh dibelakang (tidak diamalkan setelahnya), supaya jangan menjadi sesal dihari kemudian (hari kiamat). Maka kalau tiada kita usahakan yang sebenar-benar usaha tentu mendapat di dalam kejahilan yang amat mencelakakan bagi diri kita: 1) tiada menerima syukur kepada akal, pikir, dan paham yang diberi Allah Subhanahu wa ta’ala. 2) Tiada sah amal ibadah karena ketaqshiran (kekurangan ilmu). 3) Diazab oleh Allah di akhirat yang tiada dengan siapa-siapa lagi kita minta pertolongan”.

“Wajib bersyukur kepada Allah atas karunia yang teah diberikan seperti akal yang sehat. Akal yang sehat digunakan untuk menuntut ilmu, khususnya di bidang ilmu tauhid. Karena ilmu tauhid memerlukan akal pikiran yang sehat, agar tidak tersesat kala memahami akan sifat-sifat bagi Allah dan rasul.”

2 komentar: