Rabu, 16 November 2022

DR. AHMAD SURIADI, MA

 

DR. Ahmad Suriadi, MA lahir di Amuntai, Selasa, 20 Februari 1962 M (bertepatan dengan 15 Ramadhan 1381 H). Setelah menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Arab, IAIN Antasari, kemudian melanjutkan mengambil program magister di IAIN Sunan Kalijaga. Sedangkan gelar Doktor beliau peroleh setelah menyelesaikan Disertasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang beliau menjadi dosen tetap Akhlak dan Tasauf pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin.

Telah berpulang ke rahmatullah pada hari Sabtu, 12 November 2022 (bertepatan dengan 17 Rabiul Akhir 1444 H) sekitar pukul 19.00 wita di rumah sakit Banjarbaru.

Diantara kalam beliau:

“Pada penelitian kasus Islam dan budaya lokal, persoalan akulturasi timbal balik antara lingkungan budaya dan ekspresi keagamaan seseorang, maka ada perbedaan yang menarik antara corak penyebaran Islam di Indonesia dan di Maroko. Kalau di Indonesia penyebaran Islam dilakukan oleh para penyebar Islam cenderung damai dan akomodatif, sedangkan di Maroko lebih bersifat oposisional, tegas dan agresif. Seperti kata Geertz, “in marocco civilization was built on nerve; in Indonesia, an diligence” (Di Maroko, peradaban Islam dibangun di atas saraf, di Indonesia, di atas ketekunan). Hal ini dapat kita lihat pada tokoh penyebar Islam di Indonesia dan di Maroko. Sunan Giri dan Sunan Kalijaga, cenderung damai, rukun, tekun, dan sinkretis, sementara Sidi Lahsen Lyusi atau Ali Hasan ibn mas’ud al-Yusi di Maroko menyebarkan Islam dengan pemahaman yang murni dan cenderung tidak kompromistis. Namun mereka semua di akui oleh masyarakatnya masing-masing sebagai wakil yang sah bagi corak ke Islaman dimasing-masing wilayah tersebut. Di Indonesia pengakuan tersebut tercermin pada pemberian gelar kehormatan Wali Songo, sedangkan di Maroko dengan gelar Sidi. Kedua gelar  kehormatan tersebut mengandung penghargaan sebagai Wali Allah  yang sangat kental dan dipercayai memliki karomah (orang jawa abangan menyebutnya: keramat)”. (DR. Ahmad Suriadi, MA, “Pendekatan Studi Area dalam Studi Islam”, h. 6)

“Kemudian wujud peluang politik ulama itu adalah terciptanyan semacam lembaga pengadilan yang dikenal dengan Mahkamah Syariah, yaitu lembaga pengadilan agama yang dipimpin oleh seorang Mufti sebagai penguasa tertinggi dalam bidang hukum sesudah Sultan, dan sebagai Ketua Hakim tertinggi pengawas pengadilan umum yang bertanggungjawab terhadap jalannya lembaga-lembaga kehakiman. Lembaga ini mengurusi masalah keagamaan yang timbul dalam masyarakat, agar senantiasa terpimpin kepada kebenaran hukum. // Dalam melaksanakan tugasnya, Mufti didampingi oleh seorang Kadi yang berfungsi sebagai pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan seperti soal nikah, talak, rujuk, pembagian harta warisan dan sebagainya, bahkan terkadang mengurusi perkara yang lebih luas dari itu atau jelasnya mengatur masalah hampir secara keseluruhan aspek keagamaan dalam wilayah kerajaan. // Jabatan mufti dipercayakan kepada ulama yang tidak sembarang ulama.  Snouck Hurgronye mengatakan bahwa jabatan Mufti di Banjarmasin sejak dulu sangat dihormati dan hanya ulama yang paling pandai dan berbakat saja yang bisa diangkat menjadi mufti, sehingga sangat dipercaya oleh rakyat disana. Jabatan mufti tampak sekaligus merupakan jabatan dan gelar kehormatan. Selain itu, Mufti juga merangkap jabatan dalam Dewan Mahkota yang turut serta menentukan kebijaksanaan yang ditempuh oleh Raja dan kerajaan bersama-sama kaum Bangsawan dan Mangkubumi”  (DR. Ahmad Suriadi, MA ,”Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Dalam Dinamika Politik Kerajaan Banjar Abad XIX”, h. 52)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar