Ustadz Muhammad Arif bin KH. Ahmad Barkati, lahir di Haur Gading, Amuntai. Sekarang menjadi pendidik di Pondok Pesantren “Raudhatul Muta’allimin” Desa Teluk Haur, Kecamatan Haur Gading, Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Diantara kalam beliau:
“Sembahyang berjama’ah termasuk keistemewaan atau kekhususan bagi ummatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummat-ummat terdahulu ada jua sembahyang, tapi untuk berjama’ah iini, menurut para ulama, ini hanya khusus dengan ummatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
“Hikmah itu lain (berbeda dengan) tujuan. Kita umpamakan dalam menggali tanah. Tujuan menggali tanah untuk apa? Untuk mendapatkan banyu (air), misalnya. Berarti tujuan kita menggali tanah hendak mendapat banyu. Tapi waktu menggali tanah pas tahaga (menemukan) emas nang kaya tongkol. Hikmahnya menggali tanah tadi adalah tahaga amas. Jadi tahaga amas itu adalah hikmah, bukan tujuan, sebab tujuan sebenarnya adalah hendak mendapatkan banyu”.
“Hikmahnya Allah ta’ala (mensyari’atkan shalat berjama’ah, pen) – (karena Allah ta’ala tidak mengambil tujuan) – (dimana) setiap Allah ta’ala menciptakan sesuatu kadada mengambil tujuan, kenapa? Amun ma-ambil tujuan berarti Allah ta’ala berhajat kepada sesuatu itu, (misal) kita makan, tujuan kita makan apa? Supaya kenyang. Jadi kita berhajat kepada makanan. Kita bagawi supaya dapat duit, berarti kita bahajat kepada duit. Kalau Allah ta’ala dalam menciptakan sesuatu itu mengambil tujuan, berarti Allah ta’ala berhajat kepada sesuatu, sedangkan Allah ta’ala itu “istighna”, Allah itu Maha Kaya. Makanya, hikmahnya ja yang ada. Dimana hikmah disyari’atkannya sembahyang itu adalah supaua terjadi kejinakan, kenyamanan antara orang-orang yang sembahyang”.
“Suatu kebiasaan dapat menjadi ibadah atau bapahala, apabila kita niatkan. Seperti misalnya, masuk ke langgar, biasa saja kita duduk, tapi bila waktu duduk kita berniat i’tikaf maka duduk kita menjadi bapahala atau bernilai ibadah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar