Syekh KH. Abdul Karim al-Banjari, adalah seorang ulama besar yang lahir di Amuntai, kabupaten Hulu Sungai Utara. Menurut catatan dari sebuah risalah kitab yang beliau tulis, bahwa beliau datang (hijrah) ke Berau pada hari ke-14 Jumadil Akhir 1301 H (bertepatan dengan hari Jum’at, 11 April 1884 M), dan kemudian menetap di Kampung Sukan, Kecamatan Sambaliung.
Pada masa kedatangan beliau, saat itu terdapat dua kesultanan yang berkuasa di Berau, yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung. Kesultanan Sambaliung dipimpin oleh Sultan Bayanuddin, sultan ke VII (berkuasa antara tahun 1881 – 1900 M), sedangkan Kesultanan Gunung Tabur dipimpin oleh Sultan Adji Kuning (berkuasa 1882 – 1892 M). Dan dari kerabat keturunan kesultanan Gunung Tabur inilah Syekh KH. Abdul Karim al-Banjari menikah dengan Adji Ratna.
Syekh KH. Abdul Karim al-Banjari ada meninggalkan sebuah kitab bertuliskan arab melayu, yang pada isi muqaddimahnya ditulis risalah Ma’rifatullah (pada mengesakan Allah). Isi kitab ditulis dengan merujuk dari berbagai kitab, diantaranya kitab “Ad-Durrun Nafis” karangan Syekh Muhammad nafis bin Idris bin Husein al-Banjari, kitab “Ihya Ulumuddin” karangan Imam al-Ghazali, Kitab “Jawaahir Waddarunnaqal” karangan Syekh Abdul Wahab Sya’rani. Beliau juga mengutip pendapat-pendapat dari imam-iman besar, seperti Ibnu Hajar, Sayyid Ali al-Khawwas, Syekh Abdullah bin Ibrahim Mirghani, Syekh Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi, dan lain-lain.
Dari jalur Syekh KH. Abdul Karim al-Banjari ini lahir beberapa orang putra yaitu H. Jamaluddin dan Syamsuddin. H. Jamaluddin kemudian mempunyai beberapa orang anak, diantaranya Abdussyukur (muallim KH. Abdussyukur) yang bermakam dan dikubahkan di depan Mesjid Jami’ Teluk Tiram Banjarmasin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar