Selasa, 08 Agustus 2017

HABIB HUSEIN bin ALWI bin AGIL



Habib Husein bin Alwi bin Agil berasal dari Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menjadi pendidik di Pondok Pesantren “Raudhatut Thalibin” Amuntai. Dan mengisi majelis pengajian bulanan di pondok pesantren tersebut. Pernah pula mengisi Majelis Taklim "al-Ma'arif" Amuntai.

Diantara kalam beliau:

 “Karena hidup kita singkat, maka harus kita menej agar kita tidak gagal dalam fase kehidupan ini, maka yang harus kita kejar seharusnya adalah keberkahan”

“Konsep tawakkal itu dimaksudkan agar manusia tidak terbebani diluar daya pikulnya/ kemampuannya”.

“Makam para auliya itu adalah raudhah min riyadhil jannah. Dan miniatur surganya Allah itu ada di kuburan orang-orang shaleh”.

“Saat kita duduk bersimpuh di hadapan seorang wali, sementara seorang wali pada saat itu, hatinya, rohnya, pikirannya sedang nyambung dengan hadratul ilahiyyah, maka hal itu akan membentuk medan magnet yang luar biasa dahsyatnya, luar biasa kekuatannya. Saat kita kemudian masuk ke medan magnet tersebut (karena berada di majelis wali tersebut, pen), maka kita akan dilontarkan, akan dikirim kesuatu maqam yang kalau kita melewati maqam shalat kita, maqam puasa kita, (maka) sampai bungkukpun kita tidak akan sampai kesana”.

“Antena TV kalau arahnya keliru, transmisi tidak akan masuk, tidak keluar gambar. Tetapi begitu arahnya pas, dia akan menangkap dan mentransmisi gambar. Seperti itulah jiwa kita, kalau kita hadapkan kepada beliau (seorang waliyullah, pen), maka kiriman-kiriman itu akan masuk ke dalam diri kita, ada transferring yang akan masuk ke dalam hati dan jiwa kita. Maka dalam bahasa ahli tasawuf dikatakan, al madad fil masyhad, sekuat apa kita menghadapkan hati kita, tawajjuh kita kepada seorang wali, sejauh itu pula madad yang akan kita peroleh”.

“Walaupun seekor anjing (anjing pada kisah ashabul kahfi, pen) tersebut binatang yang najis, namun karena cintanya kepada tuannya yang dimuliakan Allah, maka Allahpun akhirnya memuliakannya (anjing tersebut), apalagi kita sebagai manusia yang mulia, semoga kita dimuliakan Allah karena kita cinta terhadap auliya-Nya”

“Sempatkanlah beristighfar (karena) selain dapat menghapus dosa, (juga) akan menghadirkan 3 (tiga) buah anugerah Allah dalam kehidupan kita, sebagaimana tersebut dalam beberapa sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “man aksara minal istighfar” dalam riwayat lain “man lazama min istighfar”, dalam riwayat lainnya, “man laziima istighfar” (dimana) barangsiapa yang banyak beristighfar, melazimkan istighfar, selalu beristighfar, maka apa yang terjadi ? (maka) yang pertama, Allah akan menjadikan untuknya setiap kali ia diterpa kesedihan, kesumpekan maka akan Allah usir itu kesedihan dan Allah akan ganti dengan kebahagiaan. Maka orang yang banyak beristighfar warna kehidupannya adalah kebahagiaan. Manfaat yang kedua, dan apabila kamu menemui kesulitan, kesempitan, kepelikan problem kehidupan, banyaknya masalah-masalah yang ruwet dan rumit yang membuat kita sesak dada, maka apabila kita tergolong orang-orang yang banyak beristighfar kepada Allah, maka sesulit apapun, serumit apapun, sepelik apapun (maka) Allah senantiasa akan memberikan jalan keluarnya untuk dapat kiranya kita dapat mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Manfaat yang ketiga, maka Allah akan memberikan kepadanya rezeki yang tidak terduga-duga diluar perkiraannya, diluar perhitungan, diluar prediksi. Akan selalu terjadi kejutan-kejutan yang membahagiakan dalam kehidupan, selalu ada surprise dalam kehidupan, itu karena kita termasuk orang-orang yang melazimkan istighfar. (Jadi) apabila ingin selalu bahagia, ingin selalu sukses, ingin terbebas dari kesulitan-kesulitan kehidupan, jawabannya untuk itu semua adalah istighfar kepada Allah Subhanahu wa ta’ala”.

Al-Kibru batharul haqqi wa ghamthunnaas” (HR. Muslim). Sombong itu adalah sifat batharul haqqi, (yaitu) menampik, menolak kebenaran. (misal) kalau ada orang sudah dijelaskan begini yang benar , begini begini persoalannya, begini masalahnya dipaparkan sehingga kebenaran itu menjadi terang benderang, tetapi orang yang bersangkutan tetap saja tidak mau menerima. Nah sikap yang seperti inilah yang dinamakan sombong, (yaitu) menolak kebenaran. Yang kedua, wa ghamthunnaas, melecehkan orang lain dengan pandangannya, dengan senyumannya, dengan isyarat, alhasil menggambarkan pelecehan terhadap orang lain, menganggap orang lain kecil, rendah, nah yang seperti inilah sombong, yaitu tidak menganggap orang lain sebagai orang yang perlu dihormati, memandang sebelah mata dan seterusnya. Inilah sifat sombong yang dimurkai Allah Subhanahu wa ta’ala yang menyebabkan terkendalanya orang tersebut untuk masuk sorga, perlu difinding dulu (untuk) dijemur dimatahari akhirat”.

“Kesuksesan seorang anak manusia dalam kehidupan di dunia ini dengan mengeksploitasi akan segala kemampuan yang ada pada dirinya untuk menggapai 2 hal, yaitu Zuhziha ‘aninnaar, dan yang kedua udkhillal jannati (lihat Qs. Ali Imran (3) : 185, “Barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam sorga maka sungguh dia telah beruntung”), (yaitu) memastikan dirinya dapat terlepas dari segala bentuk ancaman neraka Allah, yang kedua dipastikan dia akan mendiami sorganya Allah. Maka orang yang seperti inilah manusia yang benar-benar telah mencapai kesuksesan”.

“Cukup manusia itu berusaha, berupaya, berikhtiar sesuai kodratnya dia dan kemampuannya, selebihnya hendaknya dia menggantungkan nasibnya kepada Allah. Agar apa? agar Tidak ada kekecewaan manakala kita mengalami kegagalan, agar beban kehidupan ini tidak terlalu membebani diri kita. Kalau orang bertawakkal itu seperti itu, (maka) terasa enteng didalam menjalani roda kehidupan ini. Kenapa? Karena janji Allah Subhanahu wa ta’ala : “Dan barangsiapa yang bertawakkal maka Allahlah yang mencukupi apa yang menjadi kebutuhannya” (QS. Ath-Thalaq (65) :3). Dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya mengatakan : “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, dengan tawakkal yang sesungguhnya, berserah diri kepada Allah dalam arti yang sesungguhnya, niscaya Allah akan memperlakukan hambanya itu sebagaimana Allah memperlakukan burung-burung dipagi hari. Artinya, Allah memberikan kemudahan untuk memperoleh rezekinya. Sang burungpun berikhtiar mengepakkan sayapnya, meninggalkan sarangnya, ini ikhtiar. Demikian pula, bertawakkal itu tidak meninggalkan ikhtiar, berusaha, berupaya semaksiamal mungkin, selebihnya kita serahkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau seperti itu tawakkal kita, niscaya Allah akan perlakukan kita dengan perlakuan yang amat sangat istemewa. Salah satu keistemewaannya adalah Allah cabut bebena kehidupan kita”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar