Habib Husein bin Alwi bin Agil berasal
dari Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menjadi pendidik di Pondok Pesantren “Raudhatut Thalibin” Amuntai. Dan mengisi
majelis pengajian bulanan di pondok pesantren tersebut. Pernah pula mengisi Majelis Taklim "al-Ma'arif" Amuntai.
Diantara
kalam beliau:
“Karena
hidup kita singkat, maka harus kita menej agar kita tidak gagal dalam fase
kehidupan ini, maka yang harus kita kejar seharusnya adalah keberkahan”
“Konsep tawakkal itu dimaksudkan agar manusia tidak terbebani diluar daya pikulnya/ kemampuannya”.
“Makam para auliya itu adalah raudhah min
riyadhil jannah. Dan miniatur surganya Allah itu ada di kuburan orang-orang
shaleh”.
“Saat kita duduk bersimpuh di hadapan seorang
wali, sementara seorang wali pada saat itu, hatinya, rohnya, pikirannya sedang
nyambung dengan hadratul ilahiyyah, maka hal itu akan membentuk medan
magnet yang luar biasa dahsyatnya, luar biasa kekuatannya. Saat kita kemudian
masuk ke medan magnet tersebut (karena berada di majelis wali tersebut, pen), maka kita akan
dilontarkan, akan dikirim kesuatu maqam yang kalau kita melewati maqam
shalat kita, maqam puasa kita, (maka) sampai bungkukpun kita tidak akan sampai
kesana”.
“Antena TV kalau arahnya keliru, transmisi tidak
akan masuk, tidak keluar gambar. Tetapi begitu arahnya pas, dia akan menangkap
dan mentransmisi gambar. Seperti itulah jiwa kita, kalau kita hadapkan kepada
beliau (seorang waliyullah, pen), maka kiriman-kiriman itu akan masuk ke dalam
diri kita, ada transferring yang akan masuk ke dalam hati dan jiwa kita.
Maka dalam bahasa ahli tasawuf dikatakan, al madad fil masyhad, sekuat
apa kita menghadapkan hati kita, tawajjuh kita kepada seorang wali, sejauh
itu pula madad yang akan kita peroleh”.
“Walaupun seekor anjing (anjing pada kisah ashabul kahfi, pen) tersebut binatang yang najis, namun karena
cintanya kepada tuannya yang dimuliakan Allah, maka Allahpun akhirnya
memuliakannya (anjing tersebut), apalagi kita sebagai manusia yang mulia,
semoga kita dimuliakan Allah karena kita cinta terhadap auliya-Nya”
“Sempatkanlah beristighfar (karena) selain dapat
menghapus dosa, (juga) akan menghadirkan 3 (tiga) buah anugerah Allah dalam
kehidupan kita, sebagaimana tersebut dalam beberapa sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam : “man aksara minal istighfar” dalam
riwayat lain “man lazama min istighfar”, dalam riwayat lainnya, “man
laziima istighfar” (dimana) barangsiapa yang banyak beristighfar, melazimkan
istighfar, selalu beristighfar, maka apa yang terjadi ? (maka) yang pertama, Allah akan menjadikan untuknya setiap kali ia diterpa kesedihan,
kesumpekan maka akan Allah usir itu kesedihan dan Allah akan ganti dengan
kebahagiaan. Maka orang yang banyak beristighfar warna kehidupannya adalah
kebahagiaan. Manfaat yang kedua, dan apabila kamu menemui
kesulitan, kesempitan, kepelikan problem kehidupan, banyaknya masalah-masalah
yang ruwet dan rumit yang membuat kita sesak dada, maka apabila kita tergolong
orang-orang yang banyak beristighfar kepada Allah, maka sesulit apapun, serumit
apapun, sepelik apapun (maka) Allah senantiasa akan memberikan jalan keluarnya
untuk dapat kiranya kita dapat mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Manfaat yang ketiga, maka Allah akan memberikan kepadanya rezeki
yang tidak terduga-duga diluar perkiraannya, diluar perhitungan, diluar
prediksi. Akan selalu terjadi kejutan-kejutan yang membahagiakan dalam
kehidupan, selalu ada surprise dalam kehidupan, itu karena kita termasuk orang-orang
yang melazimkan istighfar. (Jadi) apabila ingin selalu bahagia, ingin selalu
sukses, ingin terbebas dari kesulitan-kesulitan kehidupan, jawabannya untuk itu
semua adalah istighfar kepada Allah Subhanahu wa ta’ala”.
“Al-Kibru batharul haqqi wa ghamthunnaas” (HR. Muslim).
Sombong itu adalah sifat batharul haqqi, (yaitu) menampik, menolak
kebenaran. (misal) kalau ada orang sudah dijelaskan begini yang benar , begini
begini persoalannya, begini masalahnya dipaparkan sehingga kebenaran itu
menjadi terang benderang, tetapi orang yang bersangkutan tetap saja tidak mau
menerima. Nah sikap yang seperti inilah yang dinamakan sombong, (yaitu) menolak
kebenaran. Yang kedua, wa ghamthunnaas, melecehkan orang lain dengan
pandangannya, dengan senyumannya, dengan isyarat, alhasil menggambarkan
pelecehan terhadap orang lain, menganggap orang lain kecil, rendah, nah yang
seperti inilah sombong, yaitu tidak menganggap orang lain sebagai orang yang
perlu dihormati, memandang sebelah mata dan seterusnya. Inilah sifat sombong
yang dimurkai Allah Subhanahu wa ta’ala yang menyebabkan terkendalanya orang
tersebut untuk masuk sorga, perlu difinding dulu (untuk) dijemur
dimatahari akhirat”.
“Kesuksesan seorang anak manusia dalam kehidupan
di dunia ini dengan mengeksploitasi akan segala kemampuan yang ada pada dirinya
untuk menggapai 2 hal, yaitu Zuhziha ‘aninnaar, dan yang kedua udkhillal jannati (lihat Qs. Ali Imran (3) : 185, “Barangsiapa yang
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam sorga maka sungguh dia telah
beruntung”), (yaitu)
memastikan dirinya dapat terlepas dari segala bentuk ancaman neraka Allah, yang
kedua dipastikan dia akan mendiami sorganya Allah. Maka orang yang seperti
inilah manusia yang benar-benar telah mencapai kesuksesan”.
“Cukup manusia itu berusaha, berupaya, berikhtiar
sesuai kodratnya dia dan kemampuannya, selebihnya hendaknya dia menggantungkan
nasibnya kepada Allah. Agar apa? agar Tidak ada kekecewaan manakala kita
mengalami kegagalan, agar beban kehidupan ini tidak terlalu membebani diri
kita. Kalau orang bertawakkal itu seperti itu, (maka) terasa enteng didalam
menjalani roda kehidupan ini. Kenapa? Karena janji Allah Subhanahu wa ta’ala :
“Dan barangsiapa yang bertawakkal maka Allahlah yang mencukupi apa yang menjadi
kebutuhannya” (QS. Ath-Thalaq (65) :3). Dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang lainnya mengatakan : “Barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah, dengan tawakkal yang sesungguhnya, berserah diri kepada Allah dalam arti
yang sesungguhnya, niscaya Allah akan memperlakukan hambanya itu sebagaimana
Allah memperlakukan burung-burung dipagi hari. Artinya, Allah memberikan
kemudahan untuk memperoleh rezekinya. Sang burungpun berikhtiar mengepakkan
sayapnya, meninggalkan sarangnya, ini ikhtiar. Demikian pula, bertawakkal itu
tidak meninggalkan ikhtiar, berusaha, berupaya semaksiamal mungkin, selebihnya
kita serahkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau seperti itu tawakkal
kita, niscaya Allah akan perlakukan kita dengan perlakuan yang amat sangat
istemewa. Salah satu keistemewaannya adalah Allah cabut bebena kehidupan kita”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar