Selasa, 10 April 2018

HABIB SHADIQ bin MUHAMMAD ASSEGGAF


Habib Shadiq bin Muhammad Asseggaf adalah pendidik pada Pondok Pesantren “Raudhatut Thalibin” Amuntai.



Diantara kalam beliau:

“Nikmat Allah (yang lahir dan batin) ini tidak bisa kita hitung-hitung, yang mana nikmat ini sungguh-sungguh, kalau kita mau melihatnya, kalau kita mau mengingatnya, maka pasti dalam hati kita akan tumbuh rasa syukur yang tinggi dan meninggi”

“Bagaimana kalau Allah tidak memberikan kesempurnaan. Coba kalau sedikit saja dari nikmat yang lahir diambil oleh Allah (berupa sehat, misalnya), maka kita tidak akan dapat berhadir dalam majelis yang mulia. Hati handak (ingin), sudah sangat berencana  mendatangi majelis, tapi pas handak tulak (ingin pergi) encok kumat, rematik datang, kolesterol naik, darah tinggi kumat, ternyata tidak bisa kita tulaki (datangi). Ada yang sudah bagus jalan, sudah tulak bajalan (pergi), ternyata di tengah jalan tersandung, tajungkang (terjerembab/terpalanting), ada yang berkendaraan rabah (jatuh), (akhirnya) kada (tidak) jadi sampai, babulik (pulang/ kembali) lagi karumah. (Atau) ada yang diberikan nikmat luar, tetapi hidayah yang didalam dicabut, tidak diberikan oleh Allah, (seperti) awak (badan) sehat, masih anum (muda), rumah parak (dekat), bahkan bersebelahan, ada yang cuma bajalan batis kawa (bisa berjalan kaki), tetapi hidayah tidak diberikan-Nya, sehingga ketika mau tulak gin koler (perginya saja malas). Ini tanda hatinya tidak diberikan hidayah oleh Allah SWT”.

“Kalau kita menjalani segala sesuatu janganlah dihitung dengan yang namanya “parut” (makanan). Kalau nyaman tulak (pergi) kalau kada nyaman kada tulak, apalagi kadada (tidak ada) makanannya. (bila demikian), artinya harga sampian tidak lebih daripada yang keluar dari perut”

“Kita tidak bisa menjamin dari apa-apa amal ibadah kita. Kita tidak bisa untuk mau mengatakan pasti dalam kehidupan akhirat akan mendapatkan keselamatan, dalam bahasa kita : pasti masuk sorga. Belum ada jaminan. Adakah yang bisa menjamin ? Siapa yang bisa menjamin ? Adakah Allah yang menjamin ? Belum tentu. Adakah Rasulullah yang menjamin ? Belum tentu.  (apakah kita berprinsip) yang penting La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah. Nggak mungkin. Iya kalau sampai. Artinya (sewaktu) meninggal kada baubah (tidak berubah) dalam hati, kalau nang (yang) di dalam baubah, gara-gara segala macam, na’udzubillahi min dzalik, Allah mencabutnya di tengah jalan daripada La ilaha Illallah, (sehingga seseorang menjadi) menyekutukan Allah, menyekutukan Rasulullah, tidak mau dengan Rasulullah, maka Allah mencabut (keimanannya). Na’udzubillahi min dzalik. (kalau demikian), kita meninggal dalam keadaan su’ul khatimah. Mati dalam keadaan tidak baik”.


“Sampiyan belajar syari’at, belajar thariqat, belajar hakikat, belajar ma’rifat, semuanya bila betul-betul ilmu itu mengambil kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka pasti akan bermuara kepada mahabbah. Puncaknya dari segala sesuatu adalah mahabbah, cinta, itu pasti. Sampiyan belajar syari’ah, belajar fiqih, supaya napa? Supaya ibadahnya baik. Karena apa? Karena kita ingin memberikan, menyuguhkan, mempersembahkan kepada Allah ibadah perintah-Nya dengan baik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar