Habib Shadiq bin Muhammad Asseggaf adalah pendidik pada Pondok Pesantren
“Raudhatut Thalibin” Amuntai.
Diantara kalam beliau:
“Nikmat Allah (yang lahir dan batin) ini tidak bisa kita hitung-hitung,
yang mana nikmat ini sungguh-sungguh, kalau kita mau melihatnya, kalau kita mau
mengingatnya, maka pasti dalam hati kita akan tumbuh rasa syukur yang tinggi
dan meninggi”
“Bagaimana kalau Allah tidak memberikan kesempurnaan. Coba kalau sedikit
saja dari nikmat yang lahir diambil oleh Allah (berupa sehat, misalnya), maka
kita tidak akan dapat berhadir dalam majelis yang mulia. Hati handak (ingin),
sudah sangat berencana mendatangi
majelis, tapi pas handak tulak (ingin pergi) encok kumat, rematik
datang, kolesterol naik, darah tinggi kumat, ternyata tidak bisa kita tulaki
(datangi). Ada yang sudah bagus jalan, sudah tulak bajalan (pergi),
ternyata di tengah jalan tersandung, tajungkang
(terjerembab/terpalanting), ada yang berkendaraan rabah (jatuh),
(akhirnya) kada (tidak) jadi sampai, babulik (pulang/ kembali) lagi
karumah. (Atau) ada yang diberikan nikmat luar, tetapi hidayah yang didalam
dicabut, tidak diberikan oleh Allah, (seperti) awak (badan) sehat, masih
anum (muda), rumah parak (dekat), bahkan bersebelahan, ada yang
cuma bajalan batis kawa (bisa berjalan kaki), tetapi hidayah tidak
diberikan-Nya, sehingga ketika mau tulak gin koler (perginya saja malas).
Ini tanda hatinya tidak diberikan hidayah oleh Allah SWT”.
“Kalau kita menjalani segala sesuatu janganlah dihitung dengan yang namanya
“parut” (makanan). Kalau nyaman tulak (pergi) kalau kada nyaman
kada tulak, apalagi kadada (tidak ada) makanannya. (bila demikian),
artinya harga sampian tidak lebih daripada yang keluar dari perut”
“Kita tidak bisa menjamin dari apa-apa amal ibadah kita. Kita tidak bisa
untuk mau mengatakan pasti dalam kehidupan akhirat akan mendapatkan
keselamatan, dalam bahasa kita : pasti masuk sorga. Belum ada jaminan. Adakah
yang bisa menjamin ? Siapa yang bisa menjamin ? Adakah Allah yang menjamin ?
Belum tentu. Adakah Rasulullah yang menjamin ? Belum tentu. (apakah kita berprinsip) yang penting La
Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah. Nggak mungkin. Iya kalau sampai. Artinya
(sewaktu) meninggal kada baubah (tidak berubah) dalam hati, kalau nang
(yang) di dalam baubah, gara-gara segala macam, na’udzubillahi min dzalik,
Allah mencabutnya di tengah jalan daripada La ilaha Illallah, (sehingga
seseorang menjadi) menyekutukan Allah, menyekutukan Rasulullah, tidak mau
dengan Rasulullah, maka Allah mencabut (keimanannya). Na’udzubillahi min
dzalik. (kalau demikian), kita meninggal dalam keadaan su’ul khatimah. Mati
dalam keadaan tidak baik”.
“Sampiyan belajar syari’at, belajar thariqat, belajar hakikat, belajar
ma’rifat, semuanya bila betul-betul ilmu itu mengambil kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, maka pasti akan bermuara kepada mahabbah.
Puncaknya dari segala sesuatu adalah mahabbah, cinta, itu pasti. Sampiyan
belajar syari’ah, belajar fiqih, supaya napa? Supaya ibadahnya baik. Karena apa?
Karena kita ingin memberikan, menyuguhkan, mempersembahkan kepada Allah ibadah
perintah-Nya dengan baik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar