Ustadz H. Ubaidillah Ali
lahir di Desa Tapus Dalam, Amuntai. Lengkapnya adalah H. Ubaidillah Ali bin H.
Lukmanul Hakim bin H.Thabrani bin Yahya. Beliau adalah adik dari KH. An Noor
Hidayatullah pengasuh ponpes dan majelis taklim “al-Maskuriyah” Sekumpul
Martapura.
Ustadz H. Ubaidillah Ali adalah alumnus “Darul
Musthafa” Hadramaut, Yaman, dibawah pengasuhan al-Habib Umar bin Hafidz.
Sekarang memimpin dan mengelola Majelis Taklim "Jalstatul Isnain" Muara Tapus, juga sebagai ketua bidang Syuriah pada “Majelis
Rasulullah” Cabang Amuntai.
Diantara kalam beliau:
“Hendaknya
setiap kali shalat, kita membayangkan bahwa itu adalah shalat kita yang
terakhir. Kita harus menghadirkan khauf dan raja’. Khawatir atau takut sekali
kalau shalat kita tidak khusyu’, dan sangat berharap agar ibadah kita diterima.
Demikianlah perasaan kita ketika berdiri di hadapan Allah, sangat takut dan
penuh harap. Seperti halnya, ketika seorang anak yang dimarahi dan diusir
keluar rumah oleh orang tuanya, betapa tidak takut untuk kembali, dengan
berurai air mata, sangat berharap agar kesalahan dapat diampuni. Demikianlah
agar kita bisa khusyu’ sewaktu shalat”.
“Orang
yang gemar mengisi waktunya dengan ibadah merekalah orang yang yakin dengan
akherat. Mereka yang sabar terhadap celaan, mereka yang selalu menyambung
silaturrahmi kepada orang yang memutuskannya, merekalah orang yang yakin dengan
akhierat. Mereka yang hatinya bersih daripada iri dengki, daripada kekotoran
dan dendam, dan benci kepada sesame muslim, marekalah orang yang percaya dengan
akhierat. Orang yang menunaikan zakat, orang yang bersedekah dijalan Allah,
merekalah orang yang percaya dengan akhierat dengan sebenar-benar keyakinan”.
“Kalau
masih meninggalkan kewajiban, biar mulutnya berkata saya beriman kepada Allah,
tapi itu kosong daripada hakikat iman. Mereka yang memutuskan silaturrahmi,
sekalipun lidahnya mengatakan saya beriman, percaya kepada hari kiamat. Itu
adalah ungkapan lidah yangkosong daripada hakikat yang sebenarnya. Orang yang
membalas kejahatan dengan kejahatan, mereka adalah orang yang lidahnya saja
mengatakan beriman, tetapi tidak masuk kedalam dadanya, tidak tertanam secara
kuat akan makna yang sebenarnya”.
“Keimanan
yang kuat kepada akhirat membuahkan kepada ibadah. Keimanan yang kuat kepada
hari akhirat menjauhkan seseroang daripada setiap apa yang dilarang dan dibenci
didalam agama Allah subahanhu wa ta’ala.”
“Allah
subahanhu wa ta’ala di ayat ke-5 (surah al-Baqarah), memberikan kesimpulan,
seakan-akan Allah menjawab sebelum kita menanya kepada Allah subahanhu wa
ta’ala, (yaitu), “Ya Allah, seandainya kami beriman kepada Engkau, kami beriman
kepada perkara yang ghaib, seandainya kami mendirikan shalat, menunaikan zakat,
seandainya kami menyisihkan harta di jalan Engkau Ya Allah, (maka) apa yang
kami dapat, apa yang akan kami hasilkan? (lalu) kata Allah Subhanahu wa ta’ala
: “U-la ika ‘ala huda mmirabbihim, wa u-la ika humul muflihun”, merekalah, kata
Allah subhanahu wa ta’ala, berjalan di atas jalan hidayah yang Aku berikan
kepada mereka, dan merekalah orang yang betul-betul beruntung”.
“Keberuntungan
yang sebenarnya adalah ketika kita mendapatkan kedekatan di sisi Allah
subahanhu wa ta’ala. Keuntungan yang sebenarnya adalah ketika kita mampu
menggunakan umum dijalan yang diredhai oleh Allah subahanhu wa ta’ala”.
“Dengan
berkumpul dengan orang yang shaleh mendapatkan keuntungan yang sebenarnya,
duduk di majelis taklim mendapatkan keuntungan yang sebenarnya, memandang
daripada wajah zurriyat Rasulullah adalah keberuntungan yang sebenarnya, memandang
daripada pewaris Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga
keberuntungan yang sebenarnya. Menurut guru kita (maksudnya guru Ustadz
Ubaidillah Ali) yaitu
Habib Umar bin Hafidz : |Bagaimana seseorang itu akan beruntung kelak di
akhirat dengan mendapatkan sorganya Allah subahanhu wa ta’ala kalau selama
hidup di dunia ini dia tidak pernah menggunakan matanya untuk memandang
wajah-wajah orang yang beruntung disisi Allah subahanhu wa ta’ala”.
“Bukan perkara dunia
yang harus kita persiapkan, karena perkara-perkara yang bersifat dunia tidak
akan dibawa ketika kita bertemu dengan Allah Subhanahu wa ta’ala”.
“Ada perkara-perkara
yang harus kita jaga dan kita laksanakan dan kita pelihara, yang mana apabila
perkara-perkara tersebut kita jaga maka akan menyampaikan cinta kita kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang dicari adalah
mahabbah. Intisarinya adalah cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, cinta kepada agama, cinta kepada syi’ar yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
“Bahwasanya
diadakannya majelis-majelis taklim, majelis dzikir, majelis tadarus
al-Qur’an adalah untuk menanamkan di
dalam jiwa kita cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yang pada akhirnya akan membuahkan yang namanya mutaba’ah.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala : “Qul in kuntum tuhibbunallah
fattabi’uni yuhbibkumullah” (Katakanlah : Jika kalian mencintai Allah, maka
ikutilah aku (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka kalian akan
dicintai Allah” (QS.Ali Imran (3) : 31). Lalu timbullah yang namanya keinginan
untuk mengikuti jejak langkah dari Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mengikuti al-Qur’an dan mengikuti jejak langkah ulama-ulama orang-orang
shaleh terdahulu”.
“Mahabbah itu
andaknya didalam dada, itu sfatnya terhunjam dalam jiwa yang paling dalam,
tidak bisa dilihat oleh mata secara dzahir, tidak dapat diketahui secara
pandangan yang nampak dalam kehidupan dunia. Dan ketika perkara mahabbah atau
cinta itu bersemayam di dalam jiwa, (maka)
itu harus kita nampakkan dalam realitas kehidupan dalam bentuk mengiuti
jejak langkah Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
“Yang namanya
menanamkan, memasukkan agama (kepada seseorang) tidak mesti harus langsung
harus ini harus itu, tetapi tanamkan dulu penghormatan terhadap agama, tanamkan
dulu memuliakan sesuatu yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala”.
“Ketika orang lain
dapat musibah dan kita senang dengan mereka dapat musibah, (maka) senangnya
kita dengan musibahnya orang adalah dosa bagi kita. Memang mereka bukan muslim,
tetapi mereka adalah ummat Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena ummat Nabi itu terbagi 2 (dua), yaitu ada yang namanya umat bil
ijabah, ada yang namanya ummatu da’wah. Ummat bil ijabah adalah
ummat yang menjawab atau memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya yaitu ummat
Islam. Adapun ummatu da’wah adalah ummat golongan manusia yang harus kita
sampaikan dakwah kepada mereka, ummat yang harus kita sampaikan rahmat Islam
kepada mereka. Yang kita benci adalah kekafiran merek, yang kita benci adalah
kekufuran mereka tetapi jasad batang tubuh mereka juga adalah ummat nabi Besar
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (maka) ketika kita senang mereka binasa,
senang mereka meninggal dunia kena penyakit dan musibah seakan-seakan kita
senang mereka mati dalam kekufuran, seakan-akan kita senang mereka mati dalam
keadaan tidak mengagungkan kalimat La ilaaha ilallah Muhammad Rasulullah”
“Santri adalah
seseorang yang walaupun beajar yang ke seratus kali, perhatiannya dan adabnya
tetap sama dengan pertama kali yang ia belajar”