Ustadz Hasriani, lahir di Ampukung Hilir pada hari Jum’at, 12 Februari 1982 M (bertepatan dengan 17 Rabiul Akhir 1402 H). Sekarang menjadi pendidik di Pondok Pesantren “Raudhatut Thalibin” Desa Tayur, Kecamatan Amuntai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Diantara kalam beliau:
“Sekecil apapun kezaliman yang kita lakukan dan tidak sempat kita bertaubat didalamnya, maka akan diperkarakan lagi. Jangankan itu, bahkan dalam suatu riwayat, binatang haja berupa kambing ketika inya hidup tidak bertanduk dan ditanduki oleh kambing yang bertanduk, maka nanti akan diberi kesempatan untuk membalas, dimana kambing tersebut dihudupkan kembali dan Allah ciptakan tanduk dan diberi kesempatan untuk menanduk kakawanannya yang sewaktu hidup dulu. Apalagi kita nantinya sebagai manusia diberikan kesempatan oleh Allah untuk membalas kezaliman seorang hamba”>
“Jadi tenang-tenang saja didunia ini. Kalau kita terzalimin dan tersakiti dan kita tidak mampu untuk membalasnya (maka) diakhirat masih ada. Allah ta’ala Maha Adil. Dan diantara bentuk pembalasan tersebut adalah seseorang akan mengambil, akan mengalihkan pahala orang yang menzalimin kepada dirinya”.
“Setiap amal daripada anak cucu Nabi Adam itu adalah nilai pahala yang sudah tertulis baginya, kecuali puasa, maka puasa itu kata Allah : “itu untuk-Ku dan Aku langsung yang akan membalasnya”. Maka ulama berbeda pendapat didalam menafsirkan ini hadits. Kata Imam as-Subki tidak kurang dari 50 pendapat tentang penjelasan hadits tersebut. Tetapi pendapat yang paling bagus menurut Imam as-Subki adalah pendapat dari Imam Sufyan bin Uyainah. (dimana maksudnya) : pahala orang yang berpuasa itu nantinya dihari kiamat tidak bisa diganggu gugat oleh orang lain, pahalanya nanti akan dialihkan kepada orang lain ketika seorang hamba itu melakukan kezaliman. Nah ini bagaimana? Dimana ada seorang hamba yang semasa hidupnya melaksanakan amal ibadah namun disegi lainnya juga melakukan kezaliman dan tidak sempat minta halal minta redha, maka bagaimanapun bentuk kezaliman itu nantinya di hari kiamat perkaranya itu akan diperkarakan lagi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka menurut Imam Sufyan bin Uyainah : bahwa segala kezaliman yang belum dibereskan tersebut ditanggung oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam suatu riwayat, Ujar Allah Subhanahu wa ta’ala : Wahai hambaKu hakunlah ikam memaafkan menghalalkan apa yang telah ia zalimin daripada diri ikam terhadap perkara ini. Nanti, ujar Allah Subhanahu wa ta’ala, akan Aku berikan kelipatan ganda daripada hak ikam terhadap orang tersebut”. Maka ketika itu, (misalnya) daripada kada kawa managih hutang, kada kawa lagi ditagih, lalu ada yang menggantikan nilainya 2 kali lipat atau lebih ha pulang, nyataai hakun banar iya kalo. Maka ia dimaafkan diampunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan Allah Ta’alapun memberikan balasan yang lebih terhadap orang yang terzalimin tadi. Dapat diambil catatan disini, bahwa ternyata paha puasa tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Dan Kata Imam Sufyan bin Uyainah : dengan puasanya itulah nantinya dapat menyelamatkan dia sehingga orang tersebut dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke dalam sorga”.
“Ada 3 jenis makanan yang tidak dihisab, yaitu makanan bersahur, makanan saat berbuka dan makanan yang dimakan secara berjama’ah. Jadi makanlah bersama keluarga, jangan handak makan saurangan-saurangan haja badahulu, sebaiknya baimbai.”
“Kita menyamai amal ibadah para sahabat itu kada kawa, manyamai haja kada kawa apalagi malabihi, inilah daripada hebatnya para sahabat”.
“Kita ini, cukup mengambil sesuatu yang sudah jadi, jangan tapi handak maulah saurangan karena kita kada ahlinya. Kada usah gin kita manukar benang, manukar kain, menjahit saurang handak maulah baju tapi kada mau jadi napa mun kada bisa manjahit, salah gawi rupanya, handak maulah gamis sakalinya jadi mukena. Kada usah kita kaya itu kada ahlinya. Mun handak, kita manukar kain lalu unjuk lawan ahlinya nang manjahit, jangan babisa-bisa kita nang manjahit. Jadi, sesuatu yang kita kada faham, kita kada usah baparagah ahli, langsung haja kita jar berpegang pada al-Qur’an dan Hadits. Iya kalau kita mampu. Sekaliber Imam Thabrani, Imam Nasa-i, bubuhan ahli hadits tetapi ketika bab fiqih mereka itu tetap berhujjah dengan Imam Syafi’i. Kutubus Sittah itu pengarangnya adalah bermadzhab Syafi’i. Tetapi walaupun para ahli hadits tersebut seorang yang alim, tetapi dalam urusan istinbath menetapkan hukum merasa bukan ahlinya. Semuanya mengikutkepada Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan sebagainya. Para ahli hadits haja merujuk kepada Imam madzhab. Apalagi kita. Kita jangan termakan isu-isu orang nang kada batanggungjawab”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar