Drs. H. Syarifuddin Sy, M.Ag, lahir di Hulu Sungai Utara, Amuntai, Senin, 15 Oktober 1956 M (bertepatan dengan 11 Rabiul Awwal 1376 H). Beliau adalah dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin. Menjadi khatib di beberapa mesjid yang ada di Banjarmasin.
Diantara kalam beliau:
“Masyarakat beranggapan bahwa mereka (anak yang berkebutuhan khusus, admin) tidak dapat berperan, bersosialisasi, dan tidak dapat melakukan tugasnya seperti anak-anak normal yang lain. Tindakan mengucilkan anak berkebutuhan khusus adalah tindakan yang tidak tepat karena sebenarnya mereka ada bukan sebagai beban melainkan sebagai sebuah anugerah dan amanah dari Allah Subhanahu wa ta’ala, yang bagaimanapun juga perlu kita syukuri keberadaannya. Labeling inilah yang menggambat proses pengoptimalisasian potensi yang dimiliki anak-anak dengan kelainan ini. Tak jarang juga keluarga penderita juga mendapat atribusi yang tidak mengenakkan dari masyarakat”. (Syarifuddin Sy, “Pembelajaran Agama Islam bagi anak berkebutuhan khusus di SD Harapan Bunda Banjarmasin”. Dalam Mu’adalah, Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. IV No. 1, Januari – Juni, 2017, h. 75).
“Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan kehidupan yang bermakna, beriman, bertaqwa, dan berkhlaq mulia. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam adalah suatu hal keniscayaan bagi setiap individu manusia, dan tidak ada pengecualian terhadap seluruh makhluk manusia” (h. 77)
“Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan dengan tujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Pendidikan Budi Pekerti dimaksudkan agar peserta didik mulai mengenal, meneladani dan membiasakan perilaku terpuji” (h. 78).
“Pendidikan hendaknya berupaya meningkatkan rasa keimanan makhluk kepada sang Khaliq. Hal ini dirasakan penting agar ilmu pengetahuan selalu beriringan dengan peningkatan rasa keimanan dan ketakwaan”. (h. 78)
“Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena syara’ (al-Qur’an dan Sunnah) menilainya. Misalnya, sifat syukur, sabar, tawakkal, istiqamah dinilai aik tidak lain karena syara’ menilai semua sifat tersebut baik. Sebaliknya, sifat dendam, kikir, dusta, dinilai buruk karena syara’pun menilainya demikian” (h. 79)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar