Ustadz Khairullah Azmi bin Ridwan Hadi, lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Minggu, 30 September 1990 (bertepatan dengan 11 Rabiul Awwal 1411 H). Berpendidikan awal ketika memasuki SDN Sebangau uala (1995 2001) abupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Beliau kemudian menimba ilmu di Pondok Pesanten “bmul Amin” Pamangkih, kabupaten Hulu Sungai Tengah (lulus tahun 2006) dibawah asuhan KH. Muchtar dan Guru Jarkasi. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan agama di Pondok Pesantren “al hsan” (2006 2008) di bawah bimbingan KH. Luthfi Yusuf dan KH. Sufyan Noor Marbu al Hafidz.
Tahun 2011 menikah dengan seorang perempuan di Desa Tabukan Raya, Kecamatan Tabukan, Kabupaten Barito Kuala.
Tahun 2016 membuka kegiatan pembelajaran menghafal alQur’an yang dimulai dari rumah beliau, hingga kemudian pindah ke langgar/ mushalla terdekat, yaitu langgar at Taqwa.
Tahun 2022 membangun Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an “Ihya Ulumuddin”, di atas tanah yang diwakafkan oleh Muhammad Helmi dan dua orang lainnya.
Diantara kalam beliau:
“Apabila nanti al qur’an itu diangkat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, (sewaktu) dibuka mushaf, maka mushaf itu kadada lagi tulisannya. Maka disinilah beruntungnya para penghafal al qur’an, disinilah para penghafal al qur’an menjadi bintangnya, karena al qur’an diangkat semuanya, kecuali yang menyimpan alqur’an didalam dirinya, dan juga yang menyimpan al qur’an dalam hatinya”
“Apabila alqur’an dan itrah (keturunan Nabi) sudah diangkat, sudah tidak ada, maka itu salah satu dari ciri ciri kiamat. Siapapun mereka, alimkah kadakah, semua akan menjadi ciri datangnya kiamat, apabila mereka di jemput oleh Allah, maka kiamat sudah hampir dekat. Dan kemudian orang orang shaleh itu menggiring (mengikuti) jua diangkat, dijemput oleh Allah diambili tunggal ikungan (orang per orang)”.
“Al qur’an bukanlah kitab sejarah, namun sejarah ada dalam al qur’an”.
“Kita ini hari hari sembahyang, hari hari kita ini mengucap 2 kalimat syahadat, kita ikrarkan di lidah kita, namun dihati kita belum sebenarbenarnya “bi abdi.” Kita mengaku bahwa kita ini sebagai hambanya Allah, namun kehidupan kita seharihari kada mencerminkan bahwa kita adalah hambanya Allah. Kenapa ? Karena 1) kita masih menjadi hambanya duit, 2) hambanya gawian, 3) hambanya jabatan, yang selalu (membuat) lupa dengan Allah tapi mengutamakan yang tersebut. Berarti kita ini? Cukupkah syahadat kita, apakah sampai sudah syahadat kita itu menjadikan kita menjadi seorang hambanya Allah”.
“Syahadat itu bukan Cuma kita ikrarkan di lisan kita, namun harus sampai ke hati, bahkan tingkah laku kita (juga harus) Asyhadu anla ilaaha ilallah”.
“(keadaan) sehari hari nang kita “garunumi” kita sangkali, (dimana) dalam kitab Kifayatul Ghulam, bahwa hal seperti itu merupakan salah satu pembatal syahadat. Jadi hatihati kita menyangkal sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kita bisa menjadi salah satu pembatal syahadat”