KH.
Umairah Baqir bin KH. Muhammad Baqir Marzuki bin KH. Ahmad al-Marzuqi (Guru
Marzuki) bin al-Mirsad bin Hasnun bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin
al-Sultan al mulaqab bin laqsana Malayang (seorang sultan Melayu di Negeri
Pattani Thailand Selatan). Kakek beliau, KH. Ahmad Marzuqi termasuk “The six
teacher’s (enam pendekar) karena merupakan guru dari para ulama betawi dari
akhir abad ke-19 hingga awal dan pertengahan abad ke-20.
KH.
Umairah baqir lahir di Jakarta, Selasa, 17 Februari 1942 M (bertepatan dengan 30 Muharram 1361 H). Tahun 1960 beliau diajak oleh
KH.Idham Khalid untuk mondok di Ponpes Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amunai.
Sewaktu
mondok beliau termasuk santri yang aktif berorganisasi. Bahkan, sebelumnya,
sewaktu mondok di Ponpes “al-Munawwir” Krapyak, Yogyakarta, beliau telah hafal
20 juz al-Qur’an. Keadaan tersebt, menjadikan beliau selalu ditunjuk untuk
urusan “qira’atul Qur’an”, atau mewakili siswa untuk memberikan sambutan.
Tamat
dari Ponpes “Rasyidiyah Khalidiyah” Amuntai, beliau melanjutkan ke IAIN
“Antasari” Amuntai pada Fakultas Ushuluddin.
Selanjutnya,
KH. Umairah Baqir mempersunting putri dari KH. Muhammad Khalid. Dengan
demikian, beliau menjadi ipar dari KH. Idham Khalid.
Bakat
berdakwah telah beliau miliki karena lahir dari keturunan ulama besar. Hal
tersebut beliau manfaatkan dengan baik, hingga pada masanya beliau aktif
memberikan pengajian-pengajian di beberapa Majelis Takli serta menjadi khatib
di Mesjid Raya Amuntai.
Bakat
politik beliau asah ketika terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Utara
dan kemudian menjadi anggota DPRD Propinsi Kalimantan Selatan. Disamping bakat
berdakwah dan berpolitik, beliau juga senang menggeluti dunia sastra. Dan pada
tahun 1970, beliau turut menyertakan puisi dalam buku kumpulan puisi berjudul
“Antologi Puisi Sepuluh Penyair Hulu Sungai Utara” bersama Amir Husaini Zamzam,
dan lai-lain.
Diantara kalam beliau:
"Seandainya pohon rambutan kita tanam didalam mesjid Raya (Amuntai, pen.) ini, tentunya dia tidak akan tumbuh dan berkembang secara normal, karena tidak ada cahaya kehidupan. Demikian pula halnya dengan hati, bila tidak disinari dengan keimanan maka dia tidak akan tumbuh"
Diantara kalam beliau:
"Seandainya pohon rambutan kita tanam didalam mesjid Raya (Amuntai, pen.) ini, tentunya dia tidak akan tumbuh dan berkembang secara normal, karena tidak ada cahaya kehidupan. Demikian pula halnya dengan hati, bila tidak disinari dengan keimanan maka dia tidak akan tumbuh"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar