KH.
Hafizh Usman bin Kiai Usman, lahir di
Pandeglang, Banten, Minggu, 14 Januari 1940 M (bertepatan dengan 3 Dzulhijjah
1358 H) . Setamat dari sekolah formal, beliau menimba ilmu di Takhassus
Diniyyah Aliyah, Ponpes Rakha Amuntai, atas beasiswa dari DR. Kh. Idham Khalid.
Tahun 1960 – 1970 DR. KH. Idham Khalid banyak memberikan beasiswa kepada
putra-putra dari tanah jawa untuk menempuh pendidikan di Ponpes Rakha. Tokoh
lainnya yang juga pernah beliau kirim adalah KH. Umairah Baqir.
Sewaktu
di Amuntai, beliau berguru dengan beberapa ulama, diantara dengan KH. Abdul
Wahab Sya’rani.
Setelah
menyelesaikan pendidikan di Rakha, beliau melanjutkan kuliah di Kulliyatul
Qadha, Fakultas Syari’ah di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Solo hingga selesai
(1966).
Tahun
1967 beliau ikut membidani berdirinya Universitas Islam Pasundan, yang setahun
kemudian berubah menjadi IAIN Sunan Gunung Jati Bandung.
Tahun
1968 diminta bergabung dengan Majelis Alim Ulama Jawa Barat yang kemudian
berubah menjadi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat.
Tahun
1990 menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dan tahun 2000 terpilih menjadi
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat.
Beliau
juga terjun ke dunia politik, menjadi anggota DPRD Jawa Barat mewakili NU
(1971), kemudian terpilih lagi menjadi anggota DPR RI mewakili PPP (1977). Dan
pada tahun 1989-1999 menjadi wakil Ketua Tanfidziyah Pengurus besar Nahdlatul
Ulama (PBNU).
Kepedulian
beliau terhadap pendidikan agama diwujudkan dengan mendirikan Perguruan
“Anwarul Hidayah”, disamping itu juga aktif mengisi pengajian dibeberapa
majelis taklim, dengan mengajarkan kitab diantaranya kitab “umdatul ahkam”.
Beliau
telah berpulang ke rahmatullah pada hari Senin, 20 Oktober 2014 M
Diantara kalam beliau:
“Ulama
berkewajiban membimbing masyarakat berdo’a dengan cara yang benar, misalnya
dengan mengawali do’a tersebut dengan tobat dari segala kesalahan. Juga
menyempurnakan tobat dengan
mengembalikan hak-hak orang lain, baik hak material maupun hak sosial”
“Seharusnya
agama sebagai keyakinan dan cita-cita itu bisa menjadi pengawas perilaku
umatnya. Namun, sepertinya belakangan ini masyarakat tidak lagi mempunyai
kekuatan dan rasa mantap dalam memikirkan kemaslahatan umum”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar