Minggu, 17 Mei 2020

HABIB AHMAD bin ALQAF ALAYDRUS




Habib Ahmad bin Alqaf Alaydrus.

Diantara kalam beliau:

“Ada beberapa hal yang ringan, enteng, kadang dilupakan karena dianggap enteng, karena tidak ada yang mengajari, tidak ada yang memberi tahu. Beruntung tampulu (mumpung) ada guru. Yang pertama, menyilangkan jari-jari tangan atau panca tangan (tasybik, pen). Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat pernah duduk-duduk, tiba-tiba datang Jibril alaihi salam. Imbah itu bapaling Jibril, Jibril langsung untuk bulik (pulang). Kada jadi batamu Nabi. Setelah sahabat bubar, tinggal Nabi saurang, lalu datang pulang Jibril. Kemudian nabi manakuni (bertanya) : Ya Jibril, mengapa kamu tadi nggak suka lagi ketemu ulun (Nabi)? Tidak Ya Rasulullah, kata malaikat Jibril. Tapi kenapa kamu tadi sudah parak, dekat bangat, langsung bulik. (lalu kata malaikat Jibril) : Ya Rasulullah, sampaikan kepada ummatmu sabarataan, waktu itu bahwa dimana ada mejelis kumpulan manusia lebih dari satu, 2, 3, 4 dan seterusnya. Majelis dimana saja, yang penting duduk lebih dari satu bisa saja di warung kopi, ini majelis juga, sambil minum kopi ngobrol-ngobrol tentang agama itu majelis. Sampaikan kepada sahabatmu, dimana ada majelis kemudian salah seorang ada menyilangkan tangan begini (seperti orang main ponco/panca, pen) panca tangan, (maka) berkah dan rahmat Allah yang mau Allah turunkan ke majelis itu Allah batalkan. Jadi (masalah menyilangkan jari tangan ini, pen) jangan dianggap enteng. Kalau kami dulu di Pare, disitu waktu masih halus. Kalau tangan begini (menyilangkan jemari tangan, pen), maka kai, nenek atau orang tua, maka tangan cucunya atau tangan kita dipukul. Ajari anak-anak jangan begitu (menyilangkan jemari, pen). Kami, waktu di Kudus itu diistilahkan tasybik nya syetan dan bawa sial. Jadi jangan dianggap enteng”.

Yang kedua, yang paling parah ini. Semua ada di majelis, baik di majelis ini maupun di pondok pesantren, tidak ada kecualinya. Banyak kejadian apa (yaitu) cara mengaminkan do’a. Cara tangan untuk mengaminkan do’a, baik do’anya saurang maupun do’a orang lain. Ulun + 15 tahun yang lalu (2019), waktu itu umur ulun sekitar 40 tahun. Salah seorang guru ulun, mursyid ulun dalam thariqah, syekh murabbi, pembimbing roh ulun, almarhum almaghfurlah wa yarham, as syekh Ahmad Asrori bin Muhammad Usman al-Ishaqy Rahimahullah ‘anhu, mengijazahkan cara tangan waktu mengaminkan do’a. Itu umur 40 tahun baru tahu. Apa kata sidin : “Orang yang berdo’a maupun yang mengaminkan do’a orang lain, tangan minimal terangkat sejajar dengan, maaf, buah dada. Dengan kata-kata "minimal" sejajar buah dada, berarti kadada orang yang berdo’a itu tangannya di paha. Atau mengaminkan do’a orang lain, mengaminkan do’a guru, kedua tangan dipaha lalu berkata : Amin. Dahulu dikatakan orang seperti ini seorang yang kurang ajar. Lebih kurang ajar lagi, kenapa? Karena datang (meminta, pen) kepada Allah, Tuhannya sendiri, dia begitu. Kemudian, (bisa juga) naik sejajar bahu, atau sejajar muka. Dari yang sejajar bahu, atau sejajar muka naik ke atas melewati kepala, dan yang demikian itu kebanyakkan habib-habib kita dari hadramaud, Yaman.”

Yang ketiga, cara menyapu muka setelah berdo’a. Setelah waladhaalliin, amiin. Kedua tangan ini masuk ke muha, jari-jari tangan itu antara rambut dengan dahi, ujung dahi dengan ujung rambut dimuka jari-jarinya itu disitu. Kemudian tangan kanan dan tangan kiri turun melewati pipi kanan dan pipi kiri melewati dagu, setelah melewati dagu turunkan sedikit baru naik kembali seperti semula. Setelah kembali ke semula baru turun melewati tengah hidung, baru turun. selesai.”

“Hal ini banyak juga yang salah faham tentang masalah syekh murabbi, dianggapnya semua guru penting, baik yang ketemu atau yang kada ketemu langsung (dianggap) syekh murabbi, padahal tidak. Syekh murabbi itu adalah mursyid. Karena itu menyangkut .... roh. Nggak pernah ketemu gurunya katanya syekh murabbi. Dusta. Kalau seorang guru belum tentu kalau kada di baiat. Itu salah faham ummat yang banyak (yaitu) tidak tahu membedakan antara Mubad. Mubad itu ada sejak jaman Nabi, makanya turun temurun oleh orang sufi, ahlu thariqah, ulama-ulama sufi, ulama thariqat kita terus membaiat, dari guru ke murid-murid, dari guru sampai kepada kita, kalau ada gurunya. Kalau kadada guru mursyid (maka) memadai guru dalam ilmu syari’at. Makanya sering ulun mengatakan di facebook, bahwa hati-hati jangan sampai jadi kecewa nanti di akherat, karena mengakui seorang guru padahal bukan gurunya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar