Sabtu, 09 Mei 2020

Ustadz H. YANNOR SURIANI, Lc., S.Pd.I


Ustadz H. Yannor Suriani, Lc. S.Pd.I adalah alumnus “al-Azhar” Cairo, Mesir. Beliau sekarang menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Dalam keorganisasian beliau aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Hulu Sungai Utara periode 2020- 2025 sebagai Wakil Sekretaris Umum. Jabatan lainnya adalah sebagai Kepala Unit Pengembangan Bahasa pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai.

Diantara kalam beliau:

“Supaya seseorang itu selalu ingat bahwa sesuatu itu nikmat maka pandanglah  orang yang dibawah kamu dalam urusan rezeki, dan jangan kamu pandang berapa orang yang posisinya diatas kamu. Kenapa? Agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala yang sudah ada pada kamu. Karena seseorang itu ketika dia memandang orang yang lebih tinggi daripada dirinya dalam urusan rezeki ini, akhirnya apa yang ada pada dirinya itu kada dipedulikannya, malah kada menghargai dengan apa yang sudah ada pada dirinya”.

“Seseorang itu dikatakan bersyukur, apabila ada: pertama, syukur hati atau syukur Janan. (dalam hal ini) akuilah bahwa nikmat yang engkau dapatkan selama ini, apapun bentuknya  itu diyakinkan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Kedua, Syukur lisan, yaitu lidah tu ketika kita mendapat nikmat maka engkau jangan lupa untuk mengatakannya, engkau menyebut-nyebut nikmat yang engkau dapatkan, itu adalah syukur. Ketiga, Syukur Jabari, (dimana) setelah hati mengakui, setelah lisan mengata, maka kemudian melaksanakan apa yang terjadi pada diri kita. “al-Mun’in” bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala yang memberi nikmat. Apa keinginan Allah Subhanahu wa ta’ala, (yaitu) “wa ma khaqtul jinna wal insa illa liya’budun” (dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku). Jadi, syukur itu kita melaksanakan rukun Islam, melaksanakan perintah secara jasmaniah. Ada pula perinta secara qalbiyyah (yaitu) kita beriman kepada Allah, yaqin dengan adanya hari kiamat, qadha dan qadar dan sebagainya itu adalah bentuk perintah qalbiyah. Nah dengan begitu tadi maka ujar para ulama tasawuf (maka) orang tersebut dia telah memasuki sebagai seorang yang bersyukur”.

“Taqwa itu, asalnya diambil dari kata Waqayatin waqiyatan. Waqa, maknanya adalah melindungi, menjaga, menjadi tameng. Wiqayah, artinya melindungi diri, seperti helm disebut waqiyah yaitu perlindungan terhadap anggota badan. Adapun di dunia ini, duri-duri (yang harus kita hindari, pen) adalah perbuatan maksiat. Seseorang yang berhati-hati dari duri itu tadi setidaknya dapat terhindar dari terinjaknya. Tapi demikianlah manusia, ada sesekali tasalah, kada kawa kita ini memastikan diri kada badosa. Demikian pula dengan duri-duri tersebut adakalanya kita terinjak, dan apabila sudah terinjak maka cepat-cepat diobati, dan obatnya adalah taubat”.

“Ketaqwaan seseorang itu, kata sayyidina Ali, tergantung pada 4 hal, yaitu : 1) al khaufi minal Jalil, dimana orang yang taqwa itu pasti dalam dirinya ada rasa takut lawan Allah Subhanahu wa ta’ala, 2) al ‘amalu bi at-Tanzil, mengamalkan apa-apa yang diturunkan, diwahyukan Allah Subhanahu wa ta’ala, 3) wa qana’atu bil qalil, bukti seseorang itu bertaqwa adalah merasa puas, ridha dengan rezeki yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala meskipun sedikit, 4) al isti’dadu li yaumir Rahil, bahwa taqwa itu tercermin dari sikap siap selalu untuk perjalanan di hari kemudian. Hal seperti itu dinamakan dengan berbekal dengan ketaqwaan, yaitu senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah. Dan jika ke empat ciri orang bertaqwa itu ada pada seseorang, maka dia telah mampu mencapai derajat muqarrabin (dekat dengan Allah)”

“Sabda Nabi: “Sesungguhnya rumah yang dibacakan al-Qur’an maka akan mendatangkan kelapangan jiwa bagi ahlinya, penghuninya”. Keberkahan didalam rumah tersebut bertambah banyak. Arti berkah itu artinya ada kebaikan pada sesuatu. Rumah seseorang boleh saja sederhana, tapi keberkahan yang dirasakan ketika berada di dalam rumah lebih banyak, misalnya keinginan untuk berbuat maksiat kada tapi ada, lebih banyak cenderung melakukan kebaikan, anak diajak untuk ibadah kada ngalih, dan lain-lain.”

“Selama di dunia ini, ada makhluk lain yang setia mengikuti kita, yaitu pertama malaikat, dan yang lainnya adalah syaithan. Syaithan itu katuju yang sifatnya panas-panas. Lalu diantara yang dapat mendinginkan (gangguan) syaithan itu adalah dengan shalawat”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar