Minggu, 01 Oktober 2017

Ir. KH. AHMAD GAZALI


Ir. KH. Ahmad Gazali, lahir di Amuntai, Senin, 18 November 1940 M (bertepatan dengan 17 Syawal 1359 H). Beliau adalah salah seorang Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh periode 1984-1989. Pada waktu kuliah beliau sudah aktif dalam organisasian keagamaan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1961-1965.

KH. Ahmad Gazali juga berkecimpung dalam dunia pendidikan dengan mendirikan sekaligus menjadi Ketua yayasan “Qardhan Hasana” Landasan Ulin Banjarbaru, yang melingkupi SD, SMP dan SMA Islam Terpadu.

Jabatan  lain yang pernah beliau pegang diantaranya sebagai Dirjen Industri Kimia di Jakarta, Kepala Kanwil Depperindag Aceh, serta menjadi pengurus Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah (BAZIS) periode 1992-1999, dan  Ketua Dewan Mesjid Indonesia (DMI)  Kota Banjarbaru.

Dalam kesibukan memberdayakan ummat Islam melalui berbagai organisasi yang beliau berkecimpung didalamnya, beliau sempat menulis buku berjudul “Menuju Masyarakat Industri yang Islami”.

Telah berpulang kerahmatullah pada tahun 2016.

 

Diantara kalam beliau:

“Kalau anak-anak dekat dengan Allah, pasti perilaku mereka akan baik”

“Lebih baik memaksa anak masuk sorga daripada membiarkan mereka sukarela masuk neraka”.

“Dalam terjemahan (pandangan) saya, istiqamah itu adalah disiplin dengan kesungguhan hati secara terus menerus. Lebih kuat dari pengertian disiplindalam bahasa Inggris”

“Sebelum shalat kita diperintahkan berwudhu, artinya kita diajarkan  kebersihan. Orang shalat disyaratkan berakal dan berilmu, berarti kita disuruh disiplin untuk menggunakan akal dan menuntut ilmu”.

“Ketika shalat kita mesti selesai, tidak boleh berhenti ditengah jalan. Ini mengajarkan  kita  disiplin mengerjakan apapun tidak boleh setengah-setengah, harus tuntas. Begitu pula disiplin untuk bekerja yang berkualitas, sangat erat hubungannya dengan shalat khusyu’”

“Banyak manusia yang memiliki ilmu tinggi namun tidak  didasari ilmu agama atau akhlakul karimah yang kuat. Akibatnya logika yang kita miliki tidak dipimpin  hati nurani dan di pengaruhi oleh hawa nafsu dan lingkungan yang buruk sehingga menghasilkan akhlak yang tidak sesuai dengan Islam seperti kebanyakkan sekarang”. 

“Hidup sufi bisa kita lakukan kapan saja dan dimana saja bahkan ditengahj-tengah banyaknya  maksiat sekalipun  asalkan kita mampu  hidup zuhud. Hidup sufi tidak ada batasan  kaya  atau miskin, pangkat tinggi rendah, dan muda atau tua, semua bisa melaksanakan  hidup  sufi. Yang membedakan kita dihadapan Allah adalah ketaqwaan kita bukanlah derajat keduniaan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar