Minggu, 01 Oktober 2017

Prof.DR. ABDULLAH KARIM, M.Ag



Prof. Dr. KH. Abdullah  Karim, M.Ag  lahir di Amuntai, Senin, 14 Februari 1955 M (bertepatan dengan 21 Jumadil Akhir 1374 H), adalah seorang Guru Besar dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin.

Latar belakang pendidikan  dimulai ketika bersekolah di SD (lulus tahun 1967), kemudian melanjutkan ke MTs NIPA Rakha Amuntai (1970), lalu ke Sekolah Persiapan (SP) IAIN Antasari Amuntai (1973). SarjanaMuda pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Amuntai (1977) sedangkan Sarjana Lengkap S-1 diperoleh pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasinjurusan Perbandingan Agama (1981). Semangat menimba ilmu tetap bergelora hingga dapat menyelesaikan program S-2 di IAIN Alauddin Ujung Pandang jurusan Konsentrasi Tafsir Hadits (1996) dan gelar S-3 diperoleh pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2008).

Dalam bidang pendidikan beliau adalah dosen pada fakultas ushuluddin IAIN Antasari. Jabatan yang pernah dipegang diantaranya sebagai Sekretaris Jurusan Tafsir hadits (1989-1994), Pembantu Dekan I Fakultas Ushuluddin (1997-2000), dan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari (2009-2016).

Beliau juga aktif diorganisasi social dan keagamaan, diantaranya Ketua Badan Musyawarah Ulama dan Ummat Islam (1990-2000), Ketua Majelis Mudzakarah Kecamatan Kertak hanyar (2001-2013), Pengurus Majelis Penasihat Asosiasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia, dan menjadi Khatib Syuriah PWNU tahun 2007-2012.

Beliau adalah seorang ulama cendekia yang aktif menulis. Kitab/ buku yang beliau tulis diantaranya adalah “Tanggung Jawab Kolektif manusia menurut al-Qur’an” (Antasari press,2009), “Pengantar Studi al-Qur’an” (LKIS Yogyakarta, 2010), “Tafsir ayat-ayat Akidah” (LKIS  Yogyakarta, 2011), “Membahas ilmu-ilmu hadits” (Comdes Banjarmasin, 2007), “Profesionalisasi  kerja dalam al-Qur’an” (Kafusari Press Banjarmasin, 1998), dan lain-lain. Serta puluhan tulisan yang bertebaran diberbagai jurnal ilmiah.

 

Diantara kalam beliau:

“Tafsir adalah pemahaman orang terhadap al-Qur’an. Memang ada tafsir yang bersumber dari Nabi. Cuma yang berasal dari nabi harus dapat dipertanggungjawabkan  periwayatannya  dan tidak boleh mencari tafsir lain. Kalau tidak ada dari Nabi, sebaiknya, terutama yang berdasarkan hasil pemikiran manusia harus memenuhi beberapa kriteria penafsiran. Paling tidak bahasannya tidak bertentangan dengan akal sehat dan syariat agama. Selain itu,yang paling mendasar tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu”.

“Tersebut dalam Qur’an Surah al-Baqarah (2) ayat 185, dimana “Bulan Ramadhan yang padanya diturunkan awal-awal al-Qur’an, itu menjadi petunjuk bagi seluruh ummat manusia. Dan penjelasan mengenai petunjuk itupun terdapat didalam al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an itu berfungsi sebagai pembeda antara yang haq dan yang bathil”. Ayat ini menggunakan ungkapan : hudan linnaas, yang artinya fungsi al-Qur’an itu menjadi petunjuk bagi seluruh ummat manusia. Tidak ada pembatasan apakah dia orang beriman, apakah dia orang muslim, apakah dia orang kafir, apapun status orang, apapun agama yang dia peluk, (maka) sesungguhnya al-Qur’an itu menjadi petunjuk yang sangat umum untuk seluruh ummat manusia. Jadi petunjuk al-Qur’an itu bersifat netral, siapapun dapat memanfaatkannya”.

“Orang yang bertaqwa itu adalah orang yang aktif menerima petunjuk al-Qur’an”.

“Orang yang kafir itu sama saja diberi petunjuk atau tidak, dibiarkan atau tidak diberi petunjuk, mereka tetap tidak mau beriman. Karena sikap mereka seperti itu lalu Allah Subhanahu wa ta’ala mengunci mati hati mereka. Apapun penjelasan dari al-Qur’an itu tidak akan bisa mengubah mereka, karena hati mereka sudah dikunci mati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Mengapa Allah sampai mengunci mati hati mereka, itu karena sikap mereka sendiri yang sama sekali tidak mau menerima petunjuk al-Qur’an. Tetapi sekarang ada orang suka membolak balik, dengan mengatakan : “kayapa handak baiman kalau Allah sudah mengunci hati mereka?” Jangan menggunakan logika terbalik. Bukankah urutan ayat tentang permasalahan tersebut adalah disebabkan oleh sikap mereka terlebih dahulu yang tidak mau menerima petunjuk al-Qur’an, baru setelah itu Allah kunci, Allah laknat hati mereka (sehingga) tidak terbuka dengan alasan apapun”.

“Sesuatu yang sudah kita hafal apabila kita amalkan -- istilah orang kampungnya -- itu akan menjadi kebiasaan kita dan susah sekali untuk melupakannya”.

“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku berarti orang itu telah mencintai aku, dan barangsiapa yang mencintai aku maka ia bersamaku di dalam sorga”, Kata Nabi, siapapun yang menghidupkan sunnahku. Dari hadist ini ada diindikasikan, bahwa sunnah itu “sedang sakitkah” atau “sudah matikah”. Artinya apakah sunnah tersebut kurang diperhatikan, sudah banyak ditinggalkan orang. Maka ketika sunnah terjadi seperti ini, maka seseorang yang berusaha untuk menghidupkan kembali sunnah (man ahya sunnati), hal yang seperti ini mendapatkan penghargaan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena indikasinya dia akan bersama-sama dengan Nabi didalam sorga”.

“Pengamalan sunnah secara berkelompok, dapat dikategorikan amalan yang bersifat gerakan, dan biasanya pengaruhnya akan lebih nyata daripada (jika sunnah itu) dilakukan secara sendirian”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar