Selasa, 27 November 2018

COVER & PENGANTAR


Disusun oleh:
Muhammad Khairani ibn Sahamad ibn Shalatuddin ibn Said

KATA PENGANTAR

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa ali sayyidina Muhammad.
Puji syukur kami panjatkan ke hadhirat Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua, atas Izin-Nyalah maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan kitab ini.
Sesungguhnya, kitab ini adalah kumpulan dari berbagai kalam yang terucap melalui kata-kata penuh hikmat, maupun kalam yang tercatat yang penuh isyarat dan kaya manfaat yang terdapat dalam kitab-kitab para pengemban amanat, yaitu para ahlul bait  yang kita harapkan dapat memberikan syafa’at kelak di akherat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda  :

Wasiatkanlah kebajikan ahlul baitku. Pada hari kiamat nanti kalian akan kugugat mengenai ahlul baitku. Orang  yang kelak menjadi lawanku ia akan menjadi lawan Allah Subhanahu wa ta’ala, dan siapa yang menjadi lawan Allah maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka”.

Tersusunnya kitab ini tidak lain adalah untuk mewasiatkan kembali kebajikan ahlul bait sebagaimana anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut.
Kemudian adalah karena, sebagaimana dikemukakan oleh  Sayyid Yusuf bin Ismail an-Nabhani :
Kaum sayyid al-Ba’alawy oleh ummat Muhammad saw sepanjang zaman dan disemua negeri telah diakui bulat sebagai ahlulbait nubuwah yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan ataupun kekerabatan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya.”

Atau sebagaimana dikemukakan oleh Prof. DR. Habib Muhammad bin Hasan Baharun, SH, MA :

Sejak dulu peran para habib  sebagai penyejuk ummat sudah diakui, dakwah mereka selalu memberikan pencerahan. Ummat memberi kepercayaan kepada  mereka, bukan saja karena secara  genealogis mereka punya silsilah yang bersambung ke “rumah kenabian”, tapi juga karena mereka menjadi teladan kebaikan yang turun temurun di dapat dari  kakek mereka, yaitu para aslaf shalihin”.

Karena dari para ahlul baitlah kita sekarang dapat melestarikan sunnah dan sinnah, sebagaimana dikemukakan oleh Habib Umar bin Hafidz :

“Jika tidak ada sinnah (kapak, ilmu) pada keturunan shahib as-sunnah (pemilik sunnah), dimana letak sunnah ? Mereka membangun semua urusan berdasarkan sunnah. Bagaimana sunnah diambil kecuali dari mereka ? Jika keluarga shahib as-sunah tidak mengerti sunnah, siapa yang lebih mengerti ? karena itu, dalam masalah pendidikan dan pengambilan sunnah, mereka menghafal  sangat baanyak hakikat sunnah dan mawarits an nubuwwah (warisan-warisan dari nabi).  Karena itu, kami yakin bahwa yang menjadi teladan bagi kelompok mayoritas ummat dalam hal sunnah adalah ahlu bayt. Mereka bagian yang tidak terpisahkan dari ahlus sunnnah. Bahkan ulama-ulama mereka adalah imam-imam ahlus sunnah, dan mereka menjadi referensi ahlus sunnah dalam berbagai hal. Dengan demikian, tak ada pertentangan antara mereka dan ahlus sunnah. Karena sunnah itu, jika mengerti bahwa maknanya adalah hadyu jaddihin (petunjuk datuk mereka, yakni Rasulullah), merekalah yang paling patut untuk menjaga dan mengamalkan petunjuk ini”.

Dan diantara keutamaan para ahlul bait, adalah sebagaimana dikemukakan oleh KH. Asmuni (Guru Danau) bahwa:
“95 %  wali Qutub itu adalah cucunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam. Kenapa sebabnya ? (karena) Nabi itu meninggalkan ahlul bait Nabi semua bersih. Kalau kita punya dosa laksana masuk ke lumpur, susah mambarasihi, tapi kalau ahlul bait, ibarat kena debu ditiup pun bisa. Inilah keagungan ahlul bait Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasalam”.

Juga menurut Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad bahwa :
 “Dalam setiap zaman selalu ada wali-wali dari kaum alawiyyin, ada yang dzahir (dikenal) dan ada yang khamil (tidak dikenal). Yang dikenal tidak perlu banyak cukup hanya seorang saja dari mereka. Sedangkan yang lainnya biarlah tidak dikenal. Dari satu keluarga dan dari satu negeri tidak perlu ada 2 atau 3 orang wali yang dikenal.”

Dalam kitab ini terhimpun kalam terucap dan tersurat lebih dari 600 habaib. Sekiranya dalam kitab ini terdapat penasaban yang kurang tepat, maka penulis ruju’ kepada jalur nasab yang sebenarnya. Dan juga sekiranya ada terselip tokoh yang  bukan dari kalangan Habaib atau ahlul bait, maka mereka harus kita tempatkan  pada kedudukan sebagai orang-orang yang dicintai (al-Habib).

Seperti pengertian lain dari “al-Habib” menurut Habib Zein bin Umar bin Smith, bahwa :

 “Keturunan Rasul, kalau dikalangan keturunan Sayyidina Hasan dikenal Syarif. Tetapi di kalangan Sayyidina Husein disebut Sayyid, kalau jama’ah namanya Sa’adah. Dengan berkembangnya waktu, kebanyakan sayyid ini dicintai oleh lingkungannya, dicintai oleh murid-muridnya, kemudian dipanggillah dengan sebutan al-Habib. Al-habib itu yang dicintai”.

Maka berlakulah mahfuzat, “Lihatlah apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang mengatakan”.

Kemudian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam:

Barangsiapa yang ber-tawassul akan menyampaikan dia sebagai budi baik kepadaku, supaya mendapat syafaatku dihari kemudian, hendaklah ia berbuat kebajikan kepada ahlul baitku (keturunanku) dan menyenangkan hati mereka itu” (HR. Ad-Dailami)

Atau sebagaimana penuturan Imam Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib :

Siapa saja yang kasih kepada kami karena Allah, maka Allah akan menempatkan mereka di bawah naungan Illahi, dan siapa saja yang mencintai kami karena menginginkan pemberian kami, maka Allah akan memberikannya di dalam sorga, dan barangsiapa yang mencintai kami karena dunia, maka Allah akan mencurahkan rezeki yang tidak disangka-sangka.”

Akhirnya mudah-mudahan kalam terucap dan yang tersurat ini dapat memberi manfaat, dan kecintaan kita kepada mereka dengan sedikit upaya mewasiatkan  kembali nasehat-nasehat mereka, akan mendapatkan Rahmat, akan menjadi kiffarat atas segala sayyiat, dan mudah-mudahan di akhirat kelak kita akan mendapat syafaat mereka dan dapat bercengkerama laksana sahabat dekat, bukan lagi dalam angan tapi benar-benar sekedudukan dengan mereka nanti di akhirat.

 “Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr (15) : 47)

Amiin Ya Rabbal ‘alamin.

Selesai dihimpun di Amuntai, Jum’at Malam 26 Agustus 2011 M/1432 H

Al-Faqir Muhammad Khairani ibn Sahamad ibn Shalatuddin ibn Said

Tidak ada komentar:

Posting Komentar