Disusun oleh:
Muhammad Khairani ibn Sahamad ibn Shalatuddin ibn Said
KATA
PENGANTAR
Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa ali sayyidina
Muhammad.
Puji syukur kami panjatkan ke hadhirat Allah Subhanahu wa ta’ala
yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua, atas
Izin-Nyalah maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan kitab ini.
Sesungguhnya, kitab ini adalah kumpulan dari berbagai kalam yang
terucap melalui kata-kata penuh hikmat, maupun kalam yang tercatat yang penuh
isyarat dan kaya manfaat yang terdapat dalam kitab-kitab para pengemban amanat,
yaitu para ahlul bait yang kita harapkan
dapat memberikan syafa’at kelak di akherat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Wasiatkanlah kebajikan ahlul baitku.
Pada hari kiamat nanti kalian akan kugugat mengenai ahlul baitku. Orang yang kelak menjadi lawanku ia akan menjadi
lawan Allah Subhanahu wa ta’ala, dan siapa yang menjadi lawan Allah maka ia
akan dimasukkan ke dalam neraka”.
Tersusunnya kitab ini tidak lain adalah untuk mewasiatkan kembali
kebajikan ahlul bait sebagaimana anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
salam tersebut.
Kemudian adalah karena, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Yusuf
bin Ismail an-Nabhani :
“Kaum sayyid al-Ba’alawy oleh ummat Muhammad saw
sepanjang zaman dan disemua negeri telah diakui bulat sebagai ahlulbait nubuwah
yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan ataupun kekerabatan, dan mereka itu
adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak
keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya.”
Atau sebagaimana dikemukakan oleh Prof.
DR. Habib Muhammad bin Hasan Baharun, SH, MA :
“Sejak dulu peran para habib sebagai penyejuk ummat sudah diakui, dakwah
mereka selalu memberikan pencerahan. Ummat memberi kepercayaan kepada mereka, bukan saja karena secara genealogis mereka punya silsilah yang
bersambung ke “rumah kenabian”, tapi juga karena mereka menjadi teladan
kebaikan yang turun temurun di dapat dari
kakek mereka, yaitu para aslaf shalihin”.
Karena dari para ahlul baitlah kita sekarang dapat melestarikan sunnah
dan sinnah, sebagaimana dikemukakan oleh Habib
Umar bin Hafidz :
“Jika tidak ada sinnah (kapak, ilmu) pada keturunan
shahib as-sunnah (pemilik sunnah), dimana letak sunnah ? Mereka membangun semua
urusan berdasarkan sunnah. Bagaimana sunnah diambil kecuali dari mereka ? Jika
keluarga shahib as-sunah tidak mengerti sunnah, siapa yang lebih mengerti ?
karena itu, dalam masalah pendidikan dan pengambilan sunnah, mereka
menghafal sangat baanyak hakikat sunnah
dan mawarits an nubuwwah (warisan-warisan dari nabi). Karena itu, kami yakin bahwa yang menjadi
teladan bagi kelompok mayoritas ummat dalam hal sunnah adalah ahlu bayt. Mereka
bagian yang tidak terpisahkan dari ahlus sunnnah. Bahkan ulama-ulama mereka
adalah imam-imam ahlus sunnah, dan mereka menjadi referensi ahlus sunnah dalam
berbagai hal. Dengan demikian, tak ada pertentangan antara mereka dan ahlus
sunnah. Karena sunnah itu, jika mengerti bahwa maknanya adalah hadyu jaddihin
(petunjuk datuk mereka, yakni Rasulullah), merekalah yang paling patut untuk menjaga
dan mengamalkan petunjuk ini”.
Dan diantara keutamaan para ahlul bait, adalah
sebagaimana dikemukakan oleh KH.
Asmuni (Guru Danau) bahwa:
“95
% wali Qutub itu adalah cucunya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam. Kenapa sebabnya ? (karena) Nabi itu
meninggalkan ahlul bait Nabi semua bersih. Kalau kita punya dosa laksana masuk
ke lumpur, susah mambarasihi, tapi kalau ahlul bait, ibarat kena debu ditiup
pun bisa. Inilah keagungan ahlul bait Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasalam”.
Juga menurut Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad bahwa :
“Dalam
setiap zaman selalu ada wali-wali dari kaum alawiyyin, ada yang dzahir
(dikenal) dan ada yang khamil (tidak dikenal). Yang dikenal tidak perlu banyak
cukup hanya seorang saja dari mereka. Sedangkan yang lainnya biarlah tidak
dikenal. Dari satu keluarga dan dari satu negeri tidak perlu ada 2 atau 3 orang
wali yang dikenal.”
Dalam kitab ini terhimpun kalam terucap dan tersurat lebih dari 600
habaib. Sekiranya dalam kitab ini terdapat penasaban yang kurang tepat, maka
penulis ruju’ kepada jalur nasab yang sebenarnya. Dan juga sekiranya ada terselip tokoh
yang bukan dari kalangan Habaib atau
ahlul bait, maka mereka harus kita tempatkan
pada kedudukan sebagai orang-orang
yang dicintai (al-Habib).
Seperti pengertian lain dari “al-Habib” menurut Habib Zein bin Umar bin Smith, bahwa :
“Keturunan Rasul, kalau dikalangan keturunan Sayyidina
Hasan dikenal Syarif. Tetapi di kalangan Sayyidina Husein disebut Sayyid, kalau
jama’ah namanya Sa’adah. Dengan berkembangnya waktu, kebanyakan sayyid ini
dicintai oleh lingkungannya, dicintai oleh murid-muridnya, kemudian
dipanggillah dengan sebutan al-Habib. Al-habib itu yang dicintai”.
Maka berlakulah mahfuzat, “Lihatlah
apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang mengatakan”.
Kemudian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam:
“Barangsiapa yang ber-tawassul akan menyampaikan dia sebagai
budi baik kepadaku, supaya mendapat syafaatku dihari kemudian, hendaklah ia
berbuat kebajikan kepada ahlul baitku (keturunanku) dan menyenangkan hati
mereka itu” (HR. Ad-Dailami)
Atau sebagaimana
penuturan Imam Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib :
“Siapa saja yang kasih kepada kami karena Allah, maka Allah akan
menempatkan mereka di bawah naungan Illahi, dan siapa saja yang mencintai kami
karena menginginkan pemberian kami, maka Allah akan memberikannya di dalam
sorga, dan barangsiapa yang mencintai kami karena dunia, maka Allah akan
mencurahkan rezeki yang tidak disangka-sangka.”
Akhirnya mudah-mudahan kalam terucap dan yang tersurat ini dapat
memberi manfaat, dan kecintaan kita kepada mereka dengan sedikit upaya
mewasiatkan kembali nasehat-nasehat
mereka, akan mendapatkan Rahmat, akan menjadi kiffarat atas segala sayyiat, dan
mudah-mudahan di akhirat kelak kita akan mendapat syafaat mereka dan dapat
bercengkerama laksana sahabat dekat, bukan lagi dalam angan tapi benar-benar
sekedudukan dengan mereka nanti di akhirat.
“Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati
mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas
dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr (15) : 47)
Amiin Ya Rabbal ‘alamin.
Selesai
dihimpun di Amuntai, Jum’at Malam 26 Agustus 2011 M/1432 H
Al-Faqir Muhammad Khairani ibn Sahamad
ibn Shalatuddin ibn Said
Tidak ada komentar:
Posting Komentar