(2) HABIB
LUQMAN al-ATTAS:
·
Ketenangan yang kita dapatkan disuatu majelis,
maka begitu kita pindah kesuatu tempat, maka ketenangan itu akan kita dapatkan
dimana kita singgal. Jumpa dengan keluarga, dengan kawan kita, maka ketenangan
itu akan senantiasa mengikuti, selama kita ta’alluq kepada itu majelis, selama
kita punya irtibat yang kuat kepada majelis tersebut. Maka ketika kita
mendapatkan curahan rahmat disuatu majelis, maka rahmat itu akan kita bagi juga
ke rumah kita, turun juga rahmat ke rumah kita, sehingga tercipta rumah tangga
yang sakinah, mawaddah wa rahmah didalamnya selama kita mengikuti ajaran dan
thariqah daripada Nabi, selama kita mendengarkan petuah dan mengamalkan apa
yang kita dengankan dan apa yang kita tahu.
·
Apabila kita masuk rumah,
meskipun rumah kita itu kosong, maka ucapkanlah: assalamu’alaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh. Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi
wabarakatuh. Assalamu’alaina wa’ ala ‘ibadallahis shalihin. Apabila kita baca sekali, maka
keberkahannya untuk kita saja. Bila kit abaca 2 kali maka keberkahan untuk
semua penghuni rumah, dan apabila kit abaca 3 kali, maka keberkahannya meliputi
tetangga sekeliling kita.
______________________
(3) SAYYID LUTHFAN ASSEGAF :
·
Serahkanlah suatu urusan
kepada ahlinya. Begitu pula urusan tentang nasab alawiyyin, tanyakanlah kepada
ahli nasab alawiyyin, jangan kepada yang lain. Sejak dahulu, urusan nasab
alawiyyin dipegang oleh orang-orang besar dari kalangan alawiyyin sejak zaman syekh
umar al-muhdhor, bukan kepada yang lain hingga kan saat ini nasab alawiyyin
tetap lestari dan terjaga oleh orang-orang khusus dari kalangan alawiyyin.
Hatta, orang alim besar hafizh qur’an dan hafal ribuan hadits pun kalaulah
tidak faham soal nasab alawiyin, ya ahsan (lebih baik) duduk tenang saja,
serahkan kepada yang ahlinyas dalam ilmu nasab. Sebagaimana ilmu syari’at ada
ulamanya, begitu juga tentang ilmu nasab wa bil khusus nasab alawiyyin.
______________________
(4)
HABIB
LUKMAN ASSEGAF :
·
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasalam adalah suri teladan, merupakan panutan kita didalam hidup di
dunia ini, siapapun dia, apapun profesinya jika tidak berlandaskan dan
mengikuti daripada Baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasalam dipastikan orang
tersebut akan salah jalan dalam kehidupannya di dunia ini, tanpa terkecuali
siapapun dia. Maka dari itu, mari kita jadikan Baginda Rasul Shallallahu
‘alaihi wasalam sebagai suri teladan bagi kita, sebagaimana tersebut didalam
firman Allah Subhanahu wa ta’ala : Laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun
hasanah (sungguh telah ada didalam diri Rasulullah itu suatu teladan yang
baik). Jadi kalau kita ingin mencari suri teladan di dunia ini, maka ada pada
diri Rasulullah. Tentunya untuk dapat mengetahui suri teladannya Baginda rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasalam maka tidak terlepas untuk mengetahui suri teladan
itu kita harus mengikuti pewaris baginda shallallahu ‘alaihi wasalam. Siapa
pewaris baginda shallallahu ‘alaihi wasalam? Adalah al-ulama. Sebagaimana
dikatakan : al-ulama waratsatul anbiyaa (para ulama itu adalah pewaris Nabi).
Para ulama inilah yang harus kita cintai, kita ikuti dan kita hormati serta
kita muliakan. Dengan kita mencintai, menghormati dan memuliakan ulama berarti
kita sudah mengikuti daripada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam.
Tetapi ulama yang bagaimana yang harus kita ikuti, yaitu ulama yang memang
mereka ini benar-benar cinta kepada ummat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasalam, ulama yang betul-betul ingin menyelamatkan umat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasalam, ulama yang betul-betul mengatakan yang haq itu haq, yang
bathil itu bathil, yang benar itu benar yang salah itu salah. Sebagaimana
dikatakan oleh Yahya bin Mu’adz : “Para ulama itu adalah orang-orang yang
mereka itu sangat mencintai ummatnya Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasalam
ketimbang daripada ayah dan ibu mereka”.
Akhirnya para sahabatnya bertanya kenapa seperti itu ? karena mereka
para ulama adalah orang-orang yang bisa menyelamatkan dari pada azab Allah
Subhanahu wa ta’ala, adapun ayah dan ibu mereka hanya bisa menyelamatkan mereka
daripada api dunia.
(5)
HABIB
LUTHFAN bin ZEIN BASYAIBAN :
·
Dikatakan oleh al-Imam
Abdurrahman ad-Diba’I, bahwa meskipun aku mengadakan acara maulid untuk maulana
Muhammad shallallahu ‘aslaihi wasalam setiap hari, maka hal itu wajib bagi
kita. Dan juga sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Ali al-Habsyi dalam kitab
maulidnya : sehebat-hebatnya seseorang didalam memuji, menceritakan kebaikan,
keelokan, keindahan sayyidina maulana Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasalam, maka
habislah masa dan habislah umur manusia serta habislah umur dunia, namun
kebaikan, keindahan, keelokan jasa maulana Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam
masih belum habis ditulis/ diceritakan.
Allah subhanahu wa ta’ala
tidak akan menyia-nyiakan kita yang merayakan maulid, melainkan Allah subhanahu
wa ta’ala akan memberikan kita husnul khitam, Allah subahanhu wa ta’ala akan
memberikan kita husnul fitan, Allah subhanahu wa ta’ala akan memandang kita
dalam keadaan mencintai Maulana Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam, mematikan
kita dalam keadaan cinta kepada ulama, cinta kepada para sahabatnya, cinta
kepada ummat rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam dan yang terlebih istemewa
kita akan dimatikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan membawa “la ilaha
illallah, Muhammadur Rasulullah”.
Karena itu, jangan jadikan
hati kita kosong dari mencinta baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam.
Tidaklah tanah yang ada di Madinah lebih mulia daripada tanah-tanah yang lain,
melainkan karena didalam tanah Madinah tersebut ada jasad Baginda Maulana
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam. Maka begitu pula dengan hati kita, maka
hati kita tidak akan mulia kecuali hati kita itu menyimpan rasa cinta/ mahabbah
kepada Baginda Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam.
(6) SYAIKH ALI LARAKI
(sayyid Ali bin Abdul Haq al-Iraqy al-Husaini)
·
Mereka (wahabi,
pen) tidak mengikuti salah satu dari 4 madzhab fiqh yang ada (diakui). Posisi
doktrinal ini, memungkinkan mereka untuk mengeluarkan fatwa sendiri sebagai
dasar interpretasi bebas mereka terhadap teks suci. Tanpa ada landasan preseden
mazhab, tidak ada hukum yang ketat, karena protokol metodologis dan prosedur
yang seharusnya lebih sulit untuk menghasilkan fatwa yang seimbang dan
benar-benar dibutuhkan. Jelas pemisahan mereka (wahabi) dari salah satu dari 4
mazhab otoritatif, mendorong mereka untuk mengeluarkan fatwa berdasarkan
keinginan mereka, (yang dilakukan) secara kompulsif dan bersifat ekstremisme.
·
Kurangnya pemahaman mutlak tentang status
luhur Nabi Muhammad yang layak dihati setiap muslim. Hal itu disebabkan oleh
ketidakmampuan intrinsik (didalam diri)
untuk mencintai dan pendekatan “nihilistik” yang melekat pada kehidupan
dan kematian. Status mereka yang meremehkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
membawa mereka untuk menolak semua jenis kegiatan dan praktik yang dilakukan
oleh muslim tradisonal dalam meningkatkan rasa cinta mereka kepada utusan
Allah, kepada rasulullah, yang tujuan utamanya adalah Rahmatan lil ‘alamin,
untuk seluruh dunia (lihat. QS. 21 : 107).
·
Sikap mereka (wahabi, pen) terhadap ekspresi/ ungkapan
cinta dan kasih sayang ummat terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam,menghilangkan segala jenis perasaan belas kasihan kepada pengikut
mereka terhadap manusia lain (sehingga) mereka (wahabi) mengutuk “sufi” yaitu
metode dan ilmu yang dengannya kaum muslimin bercita-cita untuk menyucikan hati
dan tingkah laku mereka dari segala keburukan serta guna mencapai keunggulan
(ihsan) dalam pengamalan agamanya, baik secara lahir maupun bathin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar