Nama asli
beliau adalah Jinawi bin Duhamid (Abdul Hamid) bin Khadir (Abdul Qadir). Lahir di desa Jingah Bujur bagian dari
Haur Gading, Amuntai, Rabu, 3 Mei 1922 M (bertepatan dengan 6 Ramadhan 1340 H).
Pada tahun 1930
beliau
masuk volk school di Haur Gading dan tamat pada tahun 1934. Beliau pernah
menimba ilmu di Normal Islam. Pada tahun
1948 diangkat menjadi penghulu di kampung Haur Gading, dan pada tahun 1950
diangkat menjadi kepala desa merangkap penghulu. Tahun 1960 beliau diangkat
menjadi guru agama pada lembaga pendidikan Nurul Fajeri. Tahun 1972 diangkat menjadi Ketua Kerapatan Qadhi Amuntai, hingga pensiun tahun 1980.
Beliau pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. HSU. Duduk
menjadi anggota DPRD Kab. HSU dan sempat menjadi anggota DPRD Propinsi
Kalimantan Selatan.
Diantara guru-guru beliau adalah:
KH. Abdul Hamid Sungai Banar, Tuan
Guru H. Alus (Hisa), KH. Abdul Karim, Rafi’i, Tuan Guru H. Bahran Teluk Kubah,
Tuan Guru H. Ali Jumaid di Teluk Keramat, KH. Karhasi, KH. Muhammad Yasin.
Berpulang ke
rahmatullah pada hari Rabu, 18 Februari 2004 M (bertepatan dengan 27 Zulhijjah
1424 H). Dimakamkan di desa Haur Gading, Amuntai.
Diantara kalam beliau:
“Sebagai akibat
dari mempelajari ajaran tasawuf yang ada di dalam kitab tersebut (al-Dur al-Nafis,
pen), orang kadang-kadang:
1. Bisa meninggalkan usaha kehidupan duniawi, karena ada
kepercayaan di dalam dirinya bahwa rizki sudah ditentukan sebelumnya oleh
Allah.
2. Bisa pula menyebabkan orang yang mempelajarinya meninggalkan
ibadah, karena ia merasa hatinya belum terbuka memperbuatnya.
3. Bisa tidak menyesali kesalahan yang diperbuatnya, karena ia
berpendapat bahwa kufur dan maksiat itu baik saja menurut pandangan hakikat,
karena semuanya berasal dari Alllah.
4. Bisa membuat seseorang berani berbuat maksiat, karena ia
berpendapat bahwa maksiat itu akan dinilai oleh Allah berdosa, apabila orang yang
memperbuatnya itu menyadari melakukannya.
5. Bisa membuat seseorang mengatakan bahwa semua benda itu Tuhan,
karena adanya kepercayaan pada dirinya terhadap adam al-kaun (tidak
adanya alam semesta).
6. Bisa membuat seseorang mengatakan bahwa Nur Muhammad itu
mesra menyatu dengan tubuh manusia.” (KH. Muhammad Janawi, Beberapa Ajaran Kitab Tasawuf Wihdatul Wujud yang Tidak
Sejalan Dengan Ajaran Tasawuf Ahlus Sunnah, Banjarmasin, Antasari, 1986, h.
5)
“Kita bekerja
(beramal) ini ibarat berdagang dengan Allah swt. Setiap perdagangan tentu
mengharapkan keuntungan. Agar dapat meraih keuntungan, tentunya perdagangan
tersebut dilakukan dengan sebaik-baiknya. Karena Allah Swt bersifat asy-Syakur, artinya, ibarat seseorang
menakar dengan takaran, maka Allah Swt memberi kita sesuatu (pahala/keuntungan)
lebih dari takaran yang semestinya”.
kalo boleh saya bilang..kakek saya adalah anak dari KH.MUHAMMAD JANAWI^^
BalasHapus