Senin, 10 April 2017

KH. MUHAMMAD JANAWI

    
Nama asli beliau adalah Jinawi bin Duhamid  (Abdul Hamid) bin Khadir  (Abdul Qadir). Lahir di desa Jingah Bujur bagian dari Haur Gading, Amuntai, Rabu, 3 Mei 1922 M (bertepatan dengan 6 Ramadhan 1340 H).
Pada tahun 1930  beliau masuk volk school di Haur Gading dan tamat pada tahun 1934. Beliau pernah menimba ilmu di Normal Islam. Pada tahun 1948 diangkat menjadi penghulu di kampung Haur Gading, dan pada tahun 1950 diangkat menjadi kepala desa merangkap penghulu. Tahun 1960 beliau diangkat menjadi guru agama pada lembaga pendidikan  Nurul Fajeri. Tahun 1972 diangkat menjadi Ketua Kerapatan Qadhi Amuntai, hingga pensiun tahun 1980.
Beliau pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. HSU. Duduk menjadi anggota DPRD Kab. HSU dan sempat menjadi anggota DPRD Propinsi Kalimantan Selatan.
Diantara guru-guru beliau adalah:  KH. Abdul Hamid Sungai Banar, Tuan Guru H. Alus (Hisa), KH. Abdul Karim, Rafi’i, Tuan Guru H. Bahran Teluk Kubah, Tuan Guru H. Ali Jumaid di Teluk Keramat, KH. Karhasi, KH. Muhammad Yasin.
Berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu, 18 Februari 2004 M (bertepatan dengan 27 Zulhijjah 1424 H). Dimakamkan di desa Haur Gading, Amuntai.

Diantara kalam beliau:

“Sebagai akibat dari mempelajari ajaran tasawuf yang ada di dalam kitab tersebut (al-Dur al-Nafis, pen), orang kadang-kadang:
1. Bisa meninggalkan usaha kehidupan duniawi, karena ada kepercayaan di dalam dirinya bahwa rizki sudah ditentukan sebelumnya oleh Allah.
2. Bisa pula menyebabkan orang yang mempelajarinya meninggalkan ibadah, karena ia merasa hatinya belum terbuka memperbuatnya.
3. Bisa tidak menyesali kesalahan yang diperbuatnya, karena ia berpendapat bahwa kufur dan maksiat itu baik saja menurut pandangan hakikat, karena semuanya berasal dari Alllah.
4. Bisa membuat seseorang berani berbuat maksiat, karena ia berpendapat bahwa maksiat itu akan dinilai oleh Allah berdosa, apabila orang yang memperbuatnya itu menyadari melakukannya.
5. Bisa membuat seseorang mengatakan bahwa semua benda itu Tuhan, karena adanya kepercayaan pada dirinya terhadap adam al-kaun (tidak adanya alam semesta).
6. Bisa membuat seseorang mengatakan bahwa Nur Muhammad itu mesra menyatu dengan tubuh manusia.” (KH. Muhammad Janawi, Beberapa Ajaran Kitab Tasawuf Wihdatul Wujud yang Tidak Sejalan Dengan Ajaran Tasawuf Ahlus Sunnah, Banjarmasin, Antasari, 1986, h. 5)

“Kita bekerja (beramal) ini ibarat berdagang dengan Allah swt. Setiap perdagangan tentu mengharapkan keuntungan. Agar dapat meraih keuntungan, tentunya perdagangan tersebut dilakukan dengan sebaik-baiknya. Karena Allah Swt bersifat asy-Syakur, artinya, ibarat seseorang menakar dengan takaran, maka Allah Swt memberi kita sesuatu (pahala/keuntungan) lebih dari takaran yang semestinya”.

1 komentar:

  1. kalo boleh saya bilang..kakek saya adalah anak dari KH.MUHAMMAD JANAWI^^

    BalasHapus