H. Ahmad Subhan, Lc., S.Pd.I, lahir di
Amuntai, Selasa, 3 Maret 1970 M (bertepatan dengan 24 Zulhijjah 1389 H). Pendidikan SDN Bina karya 1984, kemudian ke MTs Nipa
Rakha Amuntai 1987, Madrasah Aliyah Rakha 1990. Selanjutnya melanjutkan ke
Universitas al-Azhar Kairo Mesir Jurusan Syari’ah Islamiyah tahun 1996.
Sepulang meraih gelar Lc, beliau melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu
al-Qur’an (STIQ) Rakha Amuntai Jurusan Bahasa Arab tahun 2006. Sekarang beliau menjadi pendidik di Madrasah Aliyah NIPI Rakha Amuntai, dan
mendapat amanah menjadi Bendahara MUI Kabupaten Hulu Sungai Utara periode
2015-2020.
Diantara kalam beliau:
“Kesalahan yang kita lakukan, kemaksiatan
yang kita kerjakan tidak lepas karena kita selalu mencintai bagian dunia ini.
Oleh sebab itu, mencintai sesuatu itu jangan terlalu berlebihan. Bukan berarti
kita dilarang untuk memiliki dunia, tetapi sebagaimana pandangan orang tasawuf,
bahwa dunia itu merupakan suatu kehinaan, (sehingga) jangan terlalu dimasukkan
ke dalam hati”
“Kita menyadari bahwa semua kita ini
tidak ada yang ma’shum, tidak ada yang bebas daripada dosa. Pasti semua ada memiliki dosa. Walikah atau
kada walikah, sama tidak ada jaminan. Yang ma’shum itu hanya para Nabi dan
Rasul yang dijamin oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau para wali juga tidak
ada jaminan, Cuma para wali itu “mahfuzh”, artinya apabila dirinya
tergelincir kepada perbuatan dosa, maka dirinya cepat menyadari dan cepat
kembali kepada Allah, mungkin hari ini terjadi hari ini juga mereka taubat
kepada Allah”.
“Untuk bisa mendapatkan syafa’atnya
Rasulullah, maka kita harus beramal dengan amal mereka”
“Dalam kondisi teertentu ada tingkat
keringanan. Allah memerintahkan kita ta’at sesuai dengan perintahnya dimanapun
kita berada. Sebagaimana ketika kita mendapatkan kesulitan, lalu diberikan
keringanan, maka kita kerjakan keringanan tersebut. Artinya, kita dalam kondisi
apapun kita harus beramal dengan amal shaleh, sesuai dengan apa yang Allah
perintahkan. Kalau kondisi kita masih fit, masih dalam kondisi biasa, maka
kerjakan sesuai dengan apa yang diperintahkan. Kalau dalam kondisi tertentu
diberikan keringanan-keringanan (maka) gawi sesuai dengan keringanan-keringanan
yang diberikan oleh Allah. Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkan perbuatan
ketaatan yang diperintahkan oleh Allah. Sebab, semuanya itu ada ketentuan
khusus. Karena itu, ketika akherat merupakan suatu kegelapan karena banyaknya
huru hara yang terjadi, maka untuk menerangi kegelapan huru hara tersebut,
perlu kita beramal dengan amal shaleh”
“Kegelapan diakherat lampunya adalah
yaqin. Memiti (jembatan) Shiratal Mustaqim, yang dikatakan tajamnya lebih tajam
dari pada pedang, halusnya lebih halus dari rambut itu kita semua akan
melewatinya. Setiap orang akan menyeberang, lalu apakah nanti kita menyeberang
sampai sorganya Allah, atau ketika kita menyeberang kaki kita tergelincir masuk
ke dalam api neraka. Ini sangat mengerikan. Bagaimana keadaan kita di akherat
kelak? Nah tentu perlu adanya penerangnya. Dan penerangan terhadap kegelapan diakherat
lampunya adalah “al-yaqin”, yaitu membenarkan perkara-perkara yang ghaib
dengan cara meninggalkan segala bentuk keraguan tentang akherat. Percaya dengan
sebenarnya. Artinya, kepastian akan terjadinya hari kiamat, terjadinya hari
shiratal mustaqim, terjadinya kehidupan akhirat, membuat kita bersiap-siap
untuk menghadapinya, tidak lain amalan yang bisa diamalkan yaitu dengan
banyak-banyak beramal shaleh”.
“Do’a dan keridhaan orang tua ibarat
penghapus debu saat kaca sedang kotor sehingga dengan mudah melihat apa yang
ingin dilihatnya dan kacamata itu adalah
hati, saat hati diliputi oleh noda yang berupa dosa maka cahaya ilmu akan sulit
untuk masuk”.
“Terlalu bangga
dengan ilmunya, merasa paling alim seduania, maka solusinya yaitu dengan
menanamkan sikap tawadhu dalam dirinya”
“Teknik agar lurus
ketika jadi penguasa adalah dengan menanamkan sikap ikhlas dalam diri kita”.
“Masa muda adalah
masa berkumpulnya 2 kekuatan, yaitu kekuatan visi dan pemikiran dan kekuatan
jasadiyah yaitu fisik. Bila dua potensi ini diabaikan dan dibiarkan, maka akan
mudah mendapatkan pengaruh fitnah dalam dakwah dan perjuangannya. Karenanya,
belajar dari kisah ashabul kahfi, bahwa kepemudaan akan menjadi sia-sia tanpa
adanya keteguhan iman yang akan membingkai 2 kekuatan yang ada pada diri
pemuda”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar