Sabtu, 12 Agustus 2017

H. AHMAD SUBEHAN, Lc, S.Pd.I



H. Ahmad Subhan, Lc., S.Pd.I, lahir di Amuntai, Selasa, 3 Maret 1970 M (bertepatan dengan 24 Zulhijjah 1389 H). Pendidikan SDN Bina karya 1984, kemudian ke MTs Nipa Rakha Amuntai 1987, Madrasah Aliyah Rakha 1990. Selanjutnya melanjutkan ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir Jurusan Syari’ah Islamiyah tahun 1996.
Sepulang meraih gelar Lc, beliau melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an (STIQ) Rakha Amuntai Jurusan Bahasa Arab tahun 2006. Sekarang beliau menjadi pendidik di Madrasah Aliyah NIPI Rakha Amuntai, dan mendapat amanah menjadi Bendahara MUI Kabupaten Hulu Sungai Utara periode 2015-2020.
Diantara kalam beliau:

“Kesalahan yang kita lakukan, kemaksiatan yang kita kerjakan tidak lepas karena kita selalu mencintai bagian dunia ini. Oleh sebab itu, mencintai sesuatu itu jangan terlalu berlebihan. Bukan berarti kita dilarang untuk memiliki dunia, tetapi sebagaimana pandangan orang tasawuf, bahwa dunia itu merupakan suatu kehinaan, (sehingga) jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati”

“Kita menyadari bahwa semua kita ini tidak ada yang ma’shum, tidak ada yang bebas daripada dosa.  Pasti semua ada memiliki dosa. Walikah atau kada walikah, sama tidak ada jaminan. Yang ma’shum itu hanya para Nabi dan Rasul yang dijamin oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau para wali juga tidak ada jaminan, Cuma para wali itu “mahfuzh”, artinya apabila dirinya tergelincir kepada perbuatan dosa, maka dirinya cepat menyadari dan cepat kembali kepada Allah, mungkin hari ini terjadi hari ini juga mereka taubat kepada Allah”.

“Untuk bisa mendapatkan syafa’atnya Rasulullah, maka kita harus beramal dengan amal mereka”

“Dalam kondisi teertentu ada tingkat keringanan. Allah memerintahkan kita ta’at sesuai dengan perintahnya dimanapun kita berada. Sebagaimana ketika kita mendapatkan kesulitan, lalu diberikan keringanan, maka kita kerjakan keringanan tersebut. Artinya, kita dalam kondisi apapun kita harus beramal dengan amal shaleh, sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. Kalau kondisi kita masih fit, masih dalam kondisi biasa, maka kerjakan sesuai dengan apa yang diperintahkan. Kalau dalam kondisi tertentu diberikan keringanan-keringanan (maka) gawi sesuai dengan keringanan-keringanan yang diberikan oleh Allah. Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkan perbuatan ketaatan yang diperintahkan oleh Allah. Sebab, semuanya itu ada ketentuan khusus. Karena itu, ketika akherat merupakan suatu kegelapan karena banyaknya huru hara yang terjadi, maka untuk menerangi kegelapan huru hara tersebut, perlu kita beramal dengan amal shaleh”

“Kegelapan diakherat lampunya adalah yaqin. Memiti (jembatan) Shiratal Mustaqim, yang dikatakan tajamnya lebih tajam dari pada pedang, halusnya lebih halus dari rambut itu kita semua akan melewatinya. Setiap orang akan menyeberang, lalu apakah nanti kita menyeberang sampai sorganya Allah, atau ketika kita menyeberang kaki kita tergelincir masuk ke dalam api neraka. Ini sangat mengerikan. Bagaimana keadaan kita di akherat kelak? Nah tentu perlu adanya penerangnya. Dan penerangan terhadap kegelapan diakherat lampunya adalah “al-yaqin”, yaitu membenarkan perkara-perkara yang ghaib dengan cara meninggalkan segala bentuk keraguan tentang akherat. Percaya dengan sebenarnya. Artinya, kepastian akan terjadinya hari kiamat, terjadinya hari shiratal mustaqim, terjadinya kehidupan akhirat, membuat kita bersiap-siap untuk menghadapinya, tidak lain amalan yang bisa diamalkan yaitu dengan banyak-banyak beramal shaleh”.

“Do’a dan keridhaan orang tua ibarat penghapus debu saat kaca sedang kotor sehingga dengan mudah melihat apa yang ingin dilihatnya  dan kacamata itu adalah hati, saat hati diliputi oleh noda yang berupa dosa maka cahaya ilmu akan sulit untuk masuk”.

“Terlalu bangga dengan ilmunya, merasa paling alim seduania, maka solusinya yaitu dengan menanamkan sikap tawadhu dalam dirinya”

“Teknik agar lurus ketika jadi penguasa adalah dengan menanamkan sikap ikhlas dalam diri kita”.

“Masa muda adalah masa berkumpulnya 2 kekuatan, yaitu kekuatan visi dan pemikiran dan kekuatan jasadiyah yaitu fisik. Bila dua potensi ini diabaikan dan dibiarkan, maka akan mudah mendapatkan pengaruh fitnah dalam dakwah dan perjuangannya. Karenanya, belajar dari kisah ashabul kahfi, bahwa kepemudaan akan menjadi sia-sia tanpa adanya keteguhan iman yang akan membingkai 2 kekuatan yang ada pada diri pemuda”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar