Senin, 07 Agustus 2017

Prof. DR. H. MUJIBUR RAHMAN, MA



Prof. DR. H. Mujiburrahman, MA bin KH. Jamhari Arsyad, lahir di Amuntai, Kamis, 9 Desember 1971 M (bertepatan dengan 20 Syawal 1391 H). Alumni Pondok Pesantren ‘Al-Falah” Banjarbaru, adalah dosen pada Fakultas Ushuluddin  dan Pasca Sarjana  IAIN Antasari Banjarmasin. Meraih gelar M.A. dari Faculty of  Religious Studies, Mc Gill University, Kanada dan gelar Ph.D dari Universiteit Utrech Belanda (2006).

Sekarang berhasil menduduki jabatan tertinggi di Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari (dulu IAIN Antasari) sebagai Rektor UIN “Antasari” Banjarmasin terhitung mulai bulan oktober 2017.

Beliau adalah cendekiawan muslim yang produktif menulis. Pernah menyampaikan makalah diberbagai forum nasional dan internasional, seperti Kanada, Belanda, Perancis, Singapura, Australia, Spanyol, Jepang dan Taiwan.

Kitab atau buku-buku karangan beliau yang sudah diterbitkan : Feeling Threatened : Muslim-Chriatian Relation in Indonesia’s New Order (Amsterdam University Press, 2006), Mengindonesiakan  Islam (Pustaka Pelajar, 2008) dan lain-lain.

 

          Diantara kalam beliau:

“Orang yang sudah mendapat petunjuk tetapi mengabaikan petunjuk itu, kemudian memilih arah yang berlawanan adalah orang yang dimurkai. Sedangkan orang yang menempuh jalan tanpa petunjuk sama sekali adalah orang yang sesat”.

“Orang yang secara sadar memilih jalan yang salah itulah orang yang dimurkai, sedangkan orang yang secara tidak sadar menempuh jalan yang salah adalah orang yang sesat”.

“Dari sudut pandang dakwah Islam, tindak kekerasan terhadap kelompok yang dianggap sesat justru merugikan. Orang bukannya simpati, malah jadi antipati terhadap Islam. Bahkan boleh jadi, simpati masyarakat meningkat kepada kelompok yang difatwa sesat itu. Karena itu, sudah seharusnya para ulama dan pemerintah dapat mencegah tindak kekerasan. Metode dakwah sebagaimana digariskan oleh al-Qur’an yaitu dengan kearifan (hikmah), nasehat yang baik (mau’izhah hasanah) dan berdebat dengan cara yang santun, harus benar-benar dijadikan pegangan”.

“Para sufi senantiasa menganjurkan uzlah. Uzlah itu mengasingkan diri dari orang banyak. Sekarang kita dipaksa untuk melakukan uzlah itu. Kalau zaman dulu, uzlah itu dilakukan antara lain : pertama, dengan berkonsentrasi penuh untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, kedua, untuk bertafakkur dan mengembangkan ilmu pengetahuan”.

“Nilai sesuatu yang kita rasakan sehari-hari itu baru terasa ketika sesuatu itu sudah tidak ada. Jadi nilai hubungan dengan si A, si B atau si C, juga kegiatan-kegiatan yang kita lakukan yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja, itu justru setelah kita tidak bisa melakukan itu lagi, (maka) kita akan merasakan berharganya sesuatu (yang hilang) itu. Hal ini akan dapat kita rasakan manfaatnya kalau kita mau merenung dan berfikir”.

“Apa itu taqwa? Tentu banyak tafsirannya dimana yang umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Tetapi makna yang lebih dalam menurut adalah berawal kata Waqo artinya memelihara diri dari kejatuhan moral. Orang yang bertaqwa adalah orang yang menjaga dirinya dalam kejatuhan moral dalam hidupnya. Maka orang yang berkurban antara lain untuk menjaga diri dari kejatuhan moral. Lepas dari keserakahan. Jadi kedekatan diri kita kepada manusia melalui ibadah kurban melahirkan taqwa dan taqwa itu melahirkan kedekatan diri kepada Allah, dan kedekatan diri kepada Allah itulah kebahagiaan sejati, ini kata kuncinya”.

“Memuaskan hati semua orang itu mustahil”

“Kekuasaan memang menentukan banyak hal, tetapi tidak menentukan semua hal”

“Dalam perjuangan moral itu, turun ke lembah nista dan dosa  lebih mudah daripada mendaki puncak gunung kebaikan dan kemuliaan. Turun derajat  menjadi hewan lebih gampang daripada naik derajat melampaui malaikat”

”Menurut al-Qur’an, Islam  adalah  rahmat buat semesta. menjadi rahmat tentu bukan berarti melenyapkan identitas, tapi menjembatani antar identitas. jembatan itu akan kokoh jika fondasinya adalah keadilan dan kesejahteraan bersama.”

“Do’a-do’a itu bagi saya adalah harapan disertai pengakuan akan kekurangan dan kelemahan diri dihadapan Allah”

“Eksklusivisme adalah keangkuhan sosial”.

“Tujuan hidup kita di dunia ini hanya mengabdi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Makna hidup ini adalah berbuat baik kepada sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Nah, itulah kebahagiaan yang hakiki”.

“Kesediaan untuk mendengarkan suara-suara yang berbeda dan kesabaran mendengarkan nasehat dan pendapat orang lain adalah wujud dari kerendahan hati”.

“Sikap positif itu penting karena manusia dengan segala keterbatasannya, memiliki ruang untuk menciptakan hidupnya  sendiri. Setiap peristiwa di dunia ini pada dasarnya netral. Sikap manusialah yang membuat peristiwa itu menjadi bermakna”.

“Berdakwah jangan hanya ceramah, tetapi yang lebih penting adalah melakukan  pelayanan  social  seperti  menolong orang muslim dengan memberinya bantuan  ekonomi, menolong orang sakit dengan membuat rumah sakit, melindungi anak yatim dengan membuka panti asuhan, dan sebagainya”.

“Para ulama sufi lebih jauh lagi mengajarkan bahwa seorang mukmin tidak boleh merasa yakin 100 % bahwa dirinya diredhai oleh Allah Swt, dan sebaliknya tidak boleh pula  berputus asa bahwa Allah tidak akan mengampuni segala dosanya. Seorang mukmin harus meletakkan diri diantara kedua posisi itu, yakni antara takut (khauf) akan kemurkaan Allah dan harap (raja’) akan rahmat Allah. Sikap yang seperti ini jelas akan melahirkan kerendahan hati dalam beragama”.

“Agama adalah perjanjian azali manusia dengan Tuhan, untuk tunduk kepada-Nya, mengikuti kebenaran dan kebaikan yang diwahyukan-Nya guna meraih kebahagiaan sejati. Jika manusia bekerja sekuat tenaga mewujudkan kebenaran dan kebaikan yang diajarkan agama, maka dia telah “menolong” agama Allah”.

“Tanazalul malaikatu waruuhu, turunnya para malaikat dan roh (lihat surah al-Qadr). Roh disini ditafsirkan dengan Jibril. Tetapi kata-kata roh ini, kita teringat didalam diri kita juga ada roh. Roh ini adalah ungkapan yang diberikan kepada sesuatu yang ada, hakiki, tetapi tidak dapat dilihat. Kalau dalam bahasa arab, roh itu seakar kata dengan “Riih” . Riih artinya angin. Jadi angin ini dapat kita rasa tetapi tidak dapat dilihat. Artinya bersifat sesuatu yang rohani, spiritual. Jadi ada pengalaman rohaniah yang didapat oleh orang ketika dia begitu dekat dengan Tuhan. Ketika dia mengalami kontak langsung dan kemudian kontak itu begitu dekat sekali, sehingga dia merasakan sesuatu yang lain daripada pengalaman sehari-harinyA. Inilah pengalaman yang dialami orang yang mendapatkan anugerah Lailatul qqadar itu”.

“Apabila seseorang mengalami kedekatan dengan Tuhan karena dia banyak beribadah, karena banyak beristighfar, mendekatkan diri kepada Allah, kemudian dia mendapatkan suatu “penampakan” dsri nama-nama Tuhan (yang bersifat Jalal, pen), maka dia akan mengalami rasa takut tetapi rasa takut yang bukan membuat orang lari. Misalnya, ketika dia (seseorang) shalat, berdzikir dan berdo’a, maka akan mersa “kaganangan” (teringat) akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Lalu kita ini merasa sedih, sedih sekali, menangis, takutan kita lawan azab Allah. Nah, apabila ada perasaan sedemikian, maka itu salah satu bentuk dari pengalaman spiritual, pengalaman rohani yang diberikan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya yang mendekatkan diri kepada-Nya”.

“Hawa nafsu itu membawa kepada hal-hal yang rendah, kepada hal-hal yang membuat kita lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek daripada kepentingan jangka panjang.”

“Makanya didalam al-Qur’an itu tidak ada pernyataan (bahwa) yang mati itu roh, (tetapi) yang mati itu nafs, “Kullu nafsin dza-ikatul maut”. Nafs ini yang akan kembali kepada Tuhan dalam keadaan seperti apa tergantung kepada hidup yang telah seseorang jalani, seberapa kuat seseorang mengendalikannya”.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar