Rabu, 02 Agustus 2017

KH. MUHAMMAD JAHRI



KH. Muhammad Jahri bin H. Ismail bin Hasan bin Sa’ad, lahir di Desa Teluk Haur, Kecamatan Haur Gading, Amuntai, pada hari Senin, 28 Mei 1934 M (bertepatan dengan 14 Shafar 1353 H). Pernah menempuh pendidikan di Takhassus Diny (sekarang menjadi Ponpes “Rakha” Amuntai.
Beliau berguru kepada banyak ulama, diantaranya Habib Abubakar bin Salim al-Habsyi, KH. Hadran (Desa Keramat), KH. Indar (Desa Keramat), KH. Abdul Wahab Sya’rani (Desa Palimbangan), KH. Muhammad Chalid (Desa Tangga Ulin), KH. Asy’ari Sulaiman (Desa Tangga Ulin), KH. Hamdan Khalid (Tangga Ulin), KH. Muhammad janawi (Desa Haur Gading), KH. Abdul Malik (Desa Pihaung), KH. Rawi (Desa Panangkalaan), Tuan Guru Zainuddin (Desa Manarap), KH. Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul- Martapura), KH. Saberan Katjil (Alabio-Banjarmasin), dan lain-lain.
Sejak tahun 1960-an beliau sudah membuka aktifitas pengajian dan pendidikan agama. Tetapi baru dapat mendirikan pondok pesantren pada tahun 1991.
Seiring dengan banyaknya santri, H. Barsah menghibahkan sebuah gudang bekas penggilingan padi yang letaknya kurang lebih 100 meter dari rumah beliau, yang kemudian dibangun sebuah unit gedung berlantai dua dengan kapasitas 6 buah lokal belajar. Gedung tersebut diberi nama “Mursyidul Amin”. Namun oleh Habib Abu Bakar bin Salim al-Habsyi, nama tersebut kemudian diganti dengan “Raudhatul Muta’allimin”.
Tahun 1992 dibangun lagi sebuah gedung berlantai dua, dan tahun 1994 dibangun pula gedung belajar untuk santri putri, asrama dan mushalla.
KH. Muhammad Jahri adalah ulama yang sangat tawadhu. Beliau termasuk penceramah rutin di majelis taklim “al-Ma’arif”  Amuntai, mengajar tasawuf dengan kitab diantaranya “Sirajut Thalibin”.  
Berpulang ke Rahmatullah pada hari Sabtu, 2 Maret 2013 M (bertepatan dengan 20 Rabi’ul Akhir 1434 H). Dimakamkan di Haur Gading.

Diantara kalam beliau:

 

“Baiklah kita disaat-saat yang akhir-akhir, atau di tsuluts (sepertiga) yang terakhir ini banyak-banyak mengingat terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala, dan banyak-banyak mengingat tentang kesalahan-kesalahan diri kita, dan ketaksiran atau kelengahan-kelengahan kita dalam berbuat ibadat terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala, atau kelemahan kta dari segi mengingat tentang tempat kembali kita yaitu alam akhirat”.

 

“Janganlah kita lupa untuk melaksanakan memperbanyak taubat dan istighfar terhadap kesalahan-kesalahan kita terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala, ataupun kesalahan-kesalahan kita terhadap mahluk kesemuanya. Mudah-mudahan saja oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam segala kesalahan kita segera akan memberikan keampunan sehingga kita berpulang ke rahmatullah dengan keadaan suci dan bersih dari semua kesalahan. Baik kesalahan yang bersangkutan kepada Allah subhanahu wata’ala, ataupun kesalahan kita yang bersangkutan dengan sesama makhluk.”

 

“Karena memang dalam segi kesalahan yang terbawa ke alam akhirat ini, kita sudah meyakinkan, bahwa (akan) dituntut oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan tuntutan yang cukup besar. Karena inilah kita perlu sekali untuk melepaskan didalam masa kesempatan masih ada bagi kita, karena kita masih hidup dialam dunia, yang dialam dunia ini, kita dianjurkan untuk berbuat kebajikan, baik kebajikan (dengan) sesama kita, ataupun kebajikan kita terhadap agama”.

 

“Baiklah kita menyangka belum bertemu atau belum (tiba) lailatul qadr, (adalah) untuk menambah kegiatan dan kuatnya kita dalam berbuat ibadat, karena sebagaimana dimaklumi bahwa beribadat pada malam tersebut adalah lebih baik daripada 1000 bulan, diperkirakan sekitar 84 tahun. Inilah suatu nikmat juga dari Allah Subhanahu wa ta’ala, yang telah memberikan pahala yang banyak terhadap ummat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mau berbuat baik dimalam-malam utamanya di malam qadr”.

 

“Nabi pernah mengatakan : “Man ahyaa lailatil ‘ied, lam yamut qalbuhu yauma tamutul quluub” (barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, niscaya tidak mati hati orang yang menhidupkan itu pada saat-saat mati segala hati). Penafsiran “mati hati” oleh sebagian ulama yaitu kita terpilih dunia daripada akhirat. Ini adalah ciri-ciri khas bahwa kita mati hati. Karena itulah didalam masa yang sedikit waktu lagi, mudah-mudahan kita jangan sampai terpilih dunia daripada akhirat, lebih-lebih lagi kita jangan terpilih yang lain daripada Allah Subhanahu wa ta’ala”.

 

“Memang kalau kita melihat sebahagian dari orang-orang yang tidak mendapatkan keampunan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, diantaranya adalah orang yang durhaka kepada dua ibu bapa, diantaranya orang yang sering minuman keras, diantaranya juga orang yang meneruskan pelaksanaan zina, diantaranya juga orang yang tidak mau bermaaf-maafan sehingga terjadilah pemotongan (pemutusan, pen) silaturrahim atau kekeluargaan”.

 

“Dalam masalah memotong silaturrahmi ini, dalam agama ada 2 masalah. Masalah pertama, memotong silaturrahmi karena akibat permasalahan duniawi. Masalah kedua, memotong silaturrahmi karena akibat masalah diniyyah, atau masalah keagamaan. Karena ini terbagi tidak kita bisa kita jelaskan hanya satu silaturrahmi saja, kalau tidak kita berikan penjelasan yang cukup panjang lebar dalam pengertian pemotongan silaturrahmi yang secara umum dan memotong silaturrahmi yang secara khusus didalam masalah agama”.

 

“Karena memang buat meminta maaf ini termasuk kewajiban kita barataan, dan yang memberikan maaf pun termasuk disunnahkan oleh agama”.

 

“Diantara orang yang tidak mendapatkan keampunan yaitu orang yang meneruskan meninggalkan sembahyang fardlu dan diqiyaskan  (dengan)  orang yang meneruskan melaksanakan kedurhakaan kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan cara meninggalkan semua kewajiban atau dengan cara melaksanakan segala yang diharamkan. Jelaslah kalau mereka ini tidak taubat (maka) mereka tidak akan mendapatkan keampunan, tetapi kita tidak memutuskan terhadap segala rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala, bahkan kitapun juga mendo’akan semoga diri kita sendiri dan (siapa saja) sama-sama mendapatkan keampunan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan mendapat redha dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan mendapat syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, pada saat kita perlukan. Meskipun demikian, janganlah kita melupakan tentang asbab-asbab kita mendapatkan keampunan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, seperti kita memperbanyak memperbuat kebajikan”.

 

Mun ada baisian (ilmu), lilimpasakan, jangan disimpan, kaena bakulat”

 

“Mun ada baisian (mempunyai) anak tapi kada pahakunan (tidak mau bila) disuruh, jangan talalu (sering) disuruh”

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar