Ustadz H. Laily Munsyi, S.Pd.I bin Hamdi lahir di Juai, kabupaten Hulu
Sungai Utara (sekarang masuk wilayah Kabupaten Balangan), pada Senin, 11 Februari
1974 M (bertepatan dengan18 Muharram 1394 H). Beliau berpendidikan Takhasus Diny Normal Islam "Rakha" Amuntai, kemudian melanjutkan mengambil program S-1 Jurusan Bahasa Arab pada Perguruan Tinggi
Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai.
Di samping mengajar di Madrasah Aliyah NIPA rakha Amuntai, beliau juga mengisi pengajian agama di
Mesjid Raya “at-Taqwa” Amuntai pada
setiap hari selasa, dan pada Majelis taklim “Khalidiyah” Tangga Ulin Hilir pada setiap sabtu pagi. Dan terkadang
pada hari Jum’at pada MajelisTaklim “al-Ma’arif”
Amuntai menggantikan KH. Hamdan Khalid, Lc.
Diantara kalam beliau:
“Belajar sifat 20 harus sesuai Lailaha illallah Muhammadur
Rasulullah. Bila menyimpang dari Lailaha illallah Muhammadur Rasulullah,
(berarti) Tauhidnya itu luput, tauhidnya salah. Bila orang belajar fiqih harus
sesuai Lailaha illallah Muhammadur Rasulullah. Seumpama, sabaharian sudah orang
menggawi zuhur 4 rakaat, (tetapi) sidin menggawinya 5 rakaat, luput sudah.
Belajar tasawuf apalagi harus sesuai Lailaha illallah Muhammadur Rasulullah”.
“Lailaha illallah. Tanpa huruf batitik. Muhammadur
Rasulullah. (hurufnya juga) kadada batitik. Adapun rahasianya, (adalah)
agar sewaktu kita berdzikir tu jangan memikirkan makhluk. Makhluk tu titik.
Dalam berdzikir handaknya hatinya khusyuk, fokus menghadap Allah Subhanahu wa
ta’ala. Hilangkan titiknya ngitu. Supaya berdzikir tu bujur-bujur ingat dengan
Allah Subhanahu wa ta’ala”.
“Dzikir tu ada 2 (dua). Dzikir hasanat. Dalam hal
ini kada khusyuk kita. Tapi bapahala ja pang nang kaya itu. Sambil
berdzikir mata kalain, hati kalain, kada ingat lawan Tuhan, kaingatan
pamakanannya. Yang kedua, dzikir derajat. Dzikir derajat tu artinya
untuk meningkatkan kedudukan kita disisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Biasanya,
orang yang melakukan dzikir derajat itu, harus berwudhu, duduk dengan tenang,
khusyuk”.
“Setelah Rasulullah wafat, ilmu itu dibagi-bagi, ke
tabi’in hingga kepada ulama-ulama. Oleh karena itu, baguru tu (belajar)
jangan kepada saikung haja (seorang saja)”.
“Supaya hati hidup, maka
sering-seringah bertafakkur”
“Mengapa wajah orang alim itu
kelihatan tenang, teduh, damai-damai saja, adalah karena mereka banyak
mengingat Allah. Sebagaimana tersebut ; “Yaitu orang-orang yang beriman dan
hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allahhati menjadi tenteram (Qs. Ar-Ra’d (13) : 28)”
“Maukur orang tua jangan pada ganal bolangnya.Tapi
pada kaluasan ilmunya” (Menilai seseorang itu jangan melihat pada besarnya
sorban, melainkan lihat pada keluasan ilmunya)
“Menghadapi orang nang “Mucil” (tidak percaya)
menjawabnya tidak perlu memakai dalil al-Qur’an dan Hadits, tapi gunakanlah
dalil aqal”
“Selama ini, kebiasaan kita maandak
(meletakkan) kembang di kuburan orang alim. Bagus haja pang, tapi ibaratnya
tadobel. Nang bagus tu, mun kita baisian (memiliki) keluarga (sudah
meninggal,pen), yang sewaktu hidupnya kada tapi penyumbahyang, baik
banar kita andaki kambang (atau semacamnya, pen),
mengingat ada hadits Nabi, bahwa selama pelepah masih belum kering, maka
diringinkan siksa merekayang dikubur dibawahnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar