Jumat, 04 Agustus 2017

H. LAILY MUNSYI, S.Pd.I




Ustadz H. Laily Munsyi, S.Pd.I bin Hamdi lahir di Juai, kabupaten Hulu Sungai Utara (sekarang masuk wilayah Kabupaten Balangan), pada Senin, 11 Februari 1974 M (bertepatan dengan18 Muharram 1394 H). Beliau berpendidikan Takhasus Diny Normal Islam "Rakha" Amuntai, kemudian melanjutkan mengambil program S-1 Jurusan Bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai.
Di samping mengajar di Madrasah Aliyah NIPA rakha Amuntai, beliau juga mengisi pengajian agama di Mesjid Raya “at-Taqwa” Amuntai pada setiap hari selasa, dan pada Majelis taklim “Khalidiyah” Tangga Ulin Hilir pada setiap sabtu pagi. Dan terkadang pada hari Jum’at pada MajelisTaklim “al-Ma’arif” Amuntai menggantikan KH. Hamdan Khalid, Lc.

Diantara kalam beliau:

“Belajar sifat 20 harus sesuai Lailaha illallah Muhammadur Rasulullah. Bila menyimpang dari Lailaha illallah Muhammadur Rasulullah, (berarti) Tauhidnya itu luput, tauhidnya salah. Bila orang belajar fiqih harus sesuai Lailaha illallah Muhammadur Rasulullah. Seumpama, sabaharian sudah orang menggawi zuhur 4 rakaat, (tetapi) sidin menggawinya 5 rakaat, luput sudah. Belajar tasawuf apalagi harus sesuai Lailaha illallah Muhammadur Rasulullah”.

“Lailaha illallah. Tanpa huruf batitik. Muhammadur Rasulullah. (hurufnya juga) kadada batitik. Adapun rahasianya, (adalah) agar sewaktu kita berdzikir tu jangan memikirkan makhluk. Makhluk tu titik. Dalam berdzikir handaknya hatinya khusyuk, fokus menghadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Hilangkan titiknya ngitu. Supaya berdzikir tu bujur-bujur ingat dengan Allah Subhanahu wa ta’ala”.

“Dzikir tu ada 2 (dua). Dzikir hasanat. Dalam hal ini kada khusyuk kita. Tapi bapahala ja pang nang kaya itu. Sambil berdzikir mata kalain, hati kalain, kada ingat lawan Tuhan, kaingatan pamakanannya. Yang kedua, dzikir derajat. Dzikir derajat tu artinya untuk meningkatkan kedudukan kita disisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Biasanya, orang yang melakukan dzikir derajat itu, harus berwudhu, duduk dengan tenang, khusyuk”.

“Setelah Rasulullah wafat, ilmu itu dibagi-bagi, ke tabi’in hingga kepada ulama-ulama. Oleh karena itu, baguru tu (belajar) jangan kepada saikung haja (seorang saja)”.

“Supaya hati hidup, maka sering-seringah bertafakkur”

“Mengapa wajah orang alim itu kelihatan tenang, teduh, damai-damai saja, adalah karena mereka banyak mengingat Allah. Sebagaimana tersebut ; “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahhati menjadi tenteram (Qs. Ar-Ra’d (13) : 28)”

Maukur orang tua jangan pada ganal bolangnya.Tapi pada kaluasan ilmunya” (Menilai seseorang itu jangan melihat pada besarnya sorban, melainkan lihat pada keluasan ilmunya)

“Menghadapi orang nang “Mucil” (tidak percaya) menjawabnya tidak perlu memakai dalil al-Qur’an dan Hadits, tapi gunakanlah dalil aqal”

“Selama ini, kebiasaan kita maandak (meletakkan) kembang di kuburan orang alim. Bagus haja pang, tapi ibaratnya tadobel. Nang bagus tu, mun kita baisian (memiliki) keluarga (sudah meninggal,pen), yang sewaktu hidupnya kada tapi penyumbahyang, baik banar kita andaki kambang (atau semacamnya, pen), mengingat ada hadits Nabi, bahwa selama pelepah masih belum kering, maka diringinkan siksa merekayang dikubur dibawahnya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar