Drs. KH. Darul Quthni, MH, lahir di Amuntai, Kamis, 13 Mei 1954 M (bertepatan dengan 10 Ramadhan
1373 H). Adalah lulusan Fakultas Ushuluddin
IAIN Antasari Banjarmasin Jurusan Ilmu Perbandingan Agama (1982), sedangkan
gelar S-2 Hukum diperoleh pada Universitas Administrasi Negara Surabaya (2004).
Pertama kali
diangkat menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Agama Kab. Hulu
Sungai Utara pada tahun 1980. setelah
itu berturut-turut menjadi Kepala Urusan Umum (1982), Kepala Sub Bagian TU
(1986), Kepala Seksi Penais pada Kantor Depag HSU (1994 – 2002). Selanjutnya
menjadi Kepala Biro Urusan Agama Islam pada Kantor Wilayah Kementerian Agama
Propinsi Kalimantan Selatan (2002 – 2004).
Pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin
periode 2004-2006, Kepala
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Batola
tahun 2006 – 2008, dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Banjarbaru periode 2008-2010.
Disamping
pengalaman di bidang professional karir, beliau juga aktif didalam berbagai
organisasi keislaman, diantaranya pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) Propinsi
Kalsel (2002 – 2005), Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Kalsel (2003 – 2012), Lembaga Pengembangan
TilawatilQur’an (LPTQ) Propinsi Kalsel periode 2002 – 2006 dan periolde 2010
sampai sekarang), Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Kalsel (2010
sampai sekarang), Ketua Badan Pengelola Mesjid Raya Sabilal Muhtadin
Banjarmasin, san juga diberi kepercayaan untuk menjadi Anggota Dewan Pengawas
Syari’ah sejak Januari 2018.
Diantara kalam beliau:
“Peran ulama sangat penting. Kita tidak bisa hanya berguru atau
mencari ilmu di internet. Berguru langsung kepada ulama itu mengandung nilai
keberkahan dan memunculkan sinar-sinar keilmuan. Setiap ilmu harus dicari
melalui proses yang benar yakni melalui guru atau ulama. Belajar agama tidak
bisa melalui internet dan media sosial semata, sehingga sumber ilmu bisa
dipertanggungjawabkan. Jika belajar ilmu tanpa guru yang tepat, (maka) gurunya
itu setan. Inilah ancaman bagi ummat yang ingin mendalami ilmu tanpa guru yang
tepat”
“Meminta do’a penerang hati itu dimasyarakat merupakan bagian yang
sering mereka lakukan pada momen-momen
tertentu. Misalnya, pada waktu saprah amal; air, pisang, telor dibacakan do’a oleh ulama dengan niat mereka yang
mengonsumsinya semoga memperoleh barokah penerang hati. Dan yang namanya do’a
agama tidak pernah menentang. Meminta do’a penerang hati sebenarnya positif.
Secara material itu
merupakan wujud penyerahan diri kepada Allah bahwa kita ini
lemah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar