KH. Abdul Wahab, lahir di Kembang Kuning, Kota Raden, Amuntai, Rabu, 15 Juni 1938 M (bertepatan dengan 16 Rabiul Akhir 1357 H). Tahun 1945 masuk Sekolah Rakyat terus ke Madrasah Dinniyah. Tahun 1953 menempuh pendidikan ke “Normal Islam” Rakha, Amuntai. Beliau Pensiunan Depag, dan mengajar di Majelis “Al-Wahdah” Kembang Kuning.
Diantara guru-guru beliau adalah Syekh Muhammad Ardhi (Sungai Banar), Syekh Muhammad Husein (Sungai Banar), dan Syekh H. Asy’ari (Sungai Baru). Setelah menempuh pendidikan di Normal, beliau kemudian banyak :mengaji duduk” dengan sejumlah ulama, diantaranya dengan KH. Zamzam, ilmu aqidah dengan KH. Basrah (Amuntai), ilmu Nahwu dengan KH. Muhamamad Yusuf, mengaji kitab Hikam dengan KH. Abdullah Arif, dan kitab Ad-Durun Nafis dengan KH. Abdul Hamid (Guru Tarus) Paliwara.
Telah berpulang ke rahmatullah pada hari Jum’at, 26 Mei 2023 M (bertepatan dengan 6 Zulqa’dah 1444 H).
Diantara kalam beliau:
“ Seumpama kelereng. Kelereng itu pasti bulat, tidak lonjong. Tetapi tidak semua yang bulat itu kelereng. Buktinya, kotoran kambing juga bulat, tetapi kotoran kambing bukan kelereng. Begitu pula halnya dengan sebutan muslim dan mukmin. Seorang mukmin sejati pasti muslim, tetapi seorang yang mengaku belum tentu dia mukmin. Karena seorang mukmin pasti akan menegakkan shalat, puasa, mengeluarkan zakat, tidak main catur, tidak main kartu (berjudi) dsb. Disinilah rahasia mengapa setiap permasalahan agama yang pokok di dalam agama, di dalam al-Qur’an selalu digunakan perkataan : “Wahai orang-orang yang beriman”.
“Istidraj itu dapat dibaratkan kita bertamu kepada seseorang, tetapi tuan rumah tidak senang kepada kita, namun oleh tuan rumah kita tetap dilayani bahkan secara berlebih.Misalnya, dihidangkan makanan dengan memakai piring porselen, nasinya berasal dari beras unus (beras terbaik) dan lauknya ayam Bangkok. Sedangkan Redha itu sebaliknya. Oleh tuan rumah kita diberinya nasi dengan beras tutuk (kualitas rendah), lauknya “ayam walik” (Istilah Amuntai untuk “mandai” atau kulit cempedak yang diasinkan) dan disuguhkan dengan piring seng. Tetapi oleh tuan rumah, kita disambut dengan ramah dan senang hati, dan kitapun merasa senang menerima pemberian tersebut”.
“Apabila kita itu mendapatkan “Nur” kena dihati kita, nur itu bercahaya, maka orang itu baik perkataannya, tdak ada hasadnya, tidak ada dengkinya, tidak ada clash kepada siapapun. Tetapi apabila seseorang itu sering clash, dengki, maka orang tersebut berarti tidak mendapatkan “nur”, dan siapa yang tidak mendapatkan “nur” maka tidak ada iman didalam hatinya”.
“Nur” itu apabila jatuh ke lisan seseorang, maka buahnya adalah lidahnya tidak akan menyebut-nyebut kesalahan, kejelekan orang lain”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar