KH. Amidhan bin
H. Saberah, lahir di Alabio Amuntai, Jum’at, 17
Februari 1939 M (bertepatan dengan 27 Zulhijjah 1357 H). Setelah tamat SR (1952) melanjutkan
ke PGAN di Banjarmasin. Kemudian belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri
(PHIN) Yogyakarta (1959). Pada tahun 1964 mendapat tugas belajar ke fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Karir dimulai
ketika beliau bekerja di Kerapatan Qadhi Besar atau Pengadilan Tinggi Agama, kemudian bekerja
di kantor Pengawas Peradilan Agama Kalimantan.
Sejak tahun
1972 bertugas di Departemen Agama Republik Indonesia Jakarta. Menjadi sekretaris
Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji (1988-1991), menjadi Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji (1991-1996), Staf Ahli Menteri Agama bidang Kerukunan antar Umat
Beragama (1996-1999). Menjadi anggota MPR RI (1999-2000). Beliau pernah pula
menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (1995-2015), serta Komnas HAM (2002-2007).
Selama di
Departemen Agama RI beliau banyak melakukan inovasi yang mendapat penghargaaan
dari pimpinan departemen dan masyarakat, misalnya tentang pengelolaan zakat
produktif. Beliau adalah yang pertama menemukan dan menerapkan sistem
pendaftaran haji secara on line (siskohat), serta pertama menerapkan sistem
Qur’ah dalam alokasi pemondokan jamaah haji di tanah suci.
Diantara
kalam beliau:
“Konsep dasar HAM yang diinisiasi Islam yang belum pernah ada pada agama
dan kepercayaan sebelumnya adalah pengakuan terhadap kesucian manusia. Islam
secara tegas menyatakan bahwa manusia lahir kedunia dalam keadaan suci. Nabi
Muhammad menyatakan (bersabda), setiap manusia yang lahir kedunia dalam keadaan
suci tanpa dosa (kullu mauluudin yuuladu ‘alal fitri). Pendidikan dari
orang tua dan lingkunganlah yang merubah anak menjadi apa kelak. Konsep
kefitrahan manusia inilah yang menjadikan ajaran Islam sangat profresif.”
“Idul Fitri adalah hari dimana ummat Islam diingatkan kembali oleh Allah
bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang suci. Kesucian itu akan
automatically terinternalisir kepada setiap manusia jika sang manusia mampu
mengendalikan nafsu angkara murkanya, nafsu syahwat seksnya, syahwat
kekuasaannya, syahwat hartanya, dan syahwat politiknya. Untuk mengendalikan
semua nafsu syahwat itu, Allah memerintahkan ummat Islam melaksanakan puasa di
bulan Ramadhan (Qs. Al-Baqarah (2) ayat 183)”.
“Perdamaian adalah segala-galanya. Kenapa demikian? Karena perdamaian hanya
akan terjadi jika manusia punya niat suci. Dan niat suci hanya terjadi jika
manusia itu hatinya suci. Itulah sebabnya, kata Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam, hanya orang yang hatinya damai yang masuk sorga. Sorga adalah
tempat yang damai yang dihuni oleh orang-orang yang hatinya damai (salam).
Dalam kaitan ini, perlu digarisbawahi, bahwa Islam dengan makna damai, itulah
hakikat agama yang dibawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”.
“Bagi ummat Islam yang tidak bergerak atau melakukan sesuatu untuk
memperjuangkan kepentingan ummat islam, maka itu termasuk perbuatan dosa”.
“Dalam konteks
peperangan, do’a itu bisa berfungsi
2 sisi, yaitu bisa menekan musuh
dan sekaligus untuk membangkitkan semangat”.
“Haram mempercayai
praktek perdukunan dan peramalan, mempublikasikannya dan memanfaatkannya. Meski
dimanfaatkan untuk hiburan atau sekedar permainan, tayangan seperti itu
merupakan tindakan pembodohan dan bisa membawa masyarakat pada perbuatan
syirik. Intinya, hal-hal yang bersifat tenung atau parangmaya, perdukunan
(khahanah), atau yang meramal-ramal (i’rafah)
semacam itu difatwakan MUI haram”.
“Sebagai muslim, (kita) tak perlu mengucapkan natal, ummat Islam harus bisa
membedakan antara ritual dan seremonial. Sebaiknya kita menghormati saja
orang-orang kristen yang merayakan natal tapi tidak perlu ikut natalan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar