Jumat, 21 Juli 2017

KH. AMIDHAN SABERAH





KH. Amidhan bin H. Saberah, lahir di Alabio Amuntai, Jum’at, 17 Februari 1939 M (bertepatan dengan 27 Zulhijjah 1357 H). Setelah tamat SR (1952) melanjutkan ke PGAN di Banjarmasin. Kemudian belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta (1959). Pada tahun 1964 mendapat tugas belajar ke fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Karir dimulai ketika beliau bekerja di Kerapatan Qadhi Besar  atau Pengadilan Tinggi Agama, kemudian bekerja di kantor Pengawas Peradilan Agama Kalimantan.
Sejak tahun 1972 bertugas di Departemen Agama Republik Indonesia Jakarta. Menjadi sekretaris Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji (1988-1991), menjadi Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (1991-1996), Staf Ahli Menteri Agama bidang Kerukunan antar Umat Beragama (1996-1999). Menjadi anggota MPR RI (1999-2000). Beliau pernah pula menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (1995-2015), serta Komnas HAM (2002-2007).
Selama di Departemen Agama RI beliau banyak melakukan inovasi yang mendapat penghargaaan dari pimpinan departemen dan masyarakat, misalnya tentang pengelolaan zakat produktif. Beliau adalah yang pertama menemukan dan menerapkan sistem pendaftaran haji secara on line (siskohat), serta pertama menerapkan sistem Qur’ah dalam alokasi pemondokan jamaah haji di tanah suci.

Diantara kalam beliau:

“Konsep dasar HAM yang diinisiasi Islam yang belum pernah ada pada agama dan kepercayaan sebelumnya adalah pengakuan terhadap kesucian manusia. Islam secara tegas menyatakan bahwa manusia lahir kedunia dalam keadaan suci. Nabi Muhammad menyatakan (bersabda), setiap manusia yang lahir kedunia dalam keadaan suci tanpa dosa (kullu mauluudin yuuladu ‘alal fitri). Pendidikan dari orang tua dan lingkunganlah yang merubah anak menjadi apa kelak. Konsep kefitrahan manusia inilah yang menjadikan ajaran Islam sangat profresif.”

“Idul Fitri adalah hari dimana ummat Islam diingatkan kembali oleh Allah bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang suci. Kesucian itu akan automatically terinternalisir kepada setiap manusia jika sang manusia mampu mengendalikan nafsu angkara murkanya, nafsu syahwat seksnya, syahwat kekuasaannya, syahwat hartanya, dan syahwat politiknya. Untuk mengendalikan semua nafsu syahwat itu, Allah memerintahkan ummat Islam melaksanakan puasa di bulan Ramadhan (Qs. Al-Baqarah (2) ayat 183)”.

“Perdamaian adalah segala-galanya. Kenapa demikian? Karena perdamaian hanya akan terjadi jika manusia punya niat suci. Dan niat suci hanya terjadi jika manusia itu hatinya suci. Itulah sebabnya, kata Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya orang yang hatinya damai yang masuk sorga. Sorga adalah tempat yang damai yang dihuni oleh orang-orang yang hatinya damai (salam). Dalam kaitan ini, perlu digarisbawahi, bahwa Islam dengan makna damai, itulah hakikat agama yang dibawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”.

“Bagi ummat Islam yang tidak bergerak atau melakukan sesuatu untuk memperjuangkan kepentingan ummat islam, maka itu termasuk perbuatan dosa”.

“Dalam konteks peperangan, do’a itu bisa berfungsi  2  sisi, yaitu bisa menekan musuh dan sekaligus untuk membangkitkan semangat”.

“Haram mempercayai praktek perdukunan dan peramalan, mempublikasikannya dan memanfaatkannya. Meski dimanfaatkan untuk hiburan atau sekedar permainan, tayangan seperti itu merupakan tindakan pembodohan dan bisa membawa masyarakat pada perbuatan syirik. Intinya, hal-hal yang bersifat tenung atau parangmaya, perdukunan (khahanah), atau yang meramal-ramal (i’rafah) semacam itu difatwakan MUI haram”.

“Sebagai muslim, (kita) tak perlu mengucapkan natal, ummat Islam harus bisa membedakan antara ritual dan seremonial. Sebaiknya kita menghormati saja orang-orang kristen yang merayakan natal tapi tidak perlu ikut natalan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar