Ahyani bin H. Ramli lahir di Amuntai, Rabu, 4 Agustus 1976 M (bertepatan dengan 7 Sya'ban 1396 H). Setelah lulus dari Pondok Pesantren "Raudlatul Muta'allimin" Teluk Haur, kemudian melanjutkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an (STIQ) "Rasyidiyah Khalidiyah" Amuntai Jurusan Pendidikan Bahasa Arab.
Aktif mengisi ceramah
diberbagai majelis taklim di antaranya di MT Syi’arul Muslimin Paliwara, MT
Nurul Huda Paliwara, MT Dala’il Al Khairat Palampitan, MT Rahmatul Huda Sei.
Malang, MT At-Taqwa Bihman Villa, MT Ibnu Ramli Pihaung, dan MT Ummi Mulyani
Kebun Sari.
Diantara
kalam beliau:
“Ketika kita diberi
nikmat agama, inilah nikmat yang akan menjadi asbab kita mendapatkan
nikmat-nikmat akhirat, dan inilah suatu nikmat yang merupakan tanda bahwa Allah
Subhanahu wa ta’ala mencintai kita. Kalau kita diberi nikmat dunia belum tentu
kita itu tanda dicintai Allah Subhanahu wa ta’ala”.
“Menghormati ulama merupakan amalan yang
luar biasa”
“Mencintai ulama
sebagian dari tanda keimanan seseorang. Kalau ada yang membenci ulama berarti
keimanannya diragukan. Karena ada diriwayatkan bahwasanya barangsiapa yang
tidak bersedih dengan meninggalnya seorang ulama, berarti dia munafik”.
“Apabila kita (dalam kehidupan) turut
merasakan, atau memberikan bantuan, atau turut mendo’akan orang yang kesusahan,
maka diakherat kita akan mendapatr syafa’at”
“Apabila kita bamamai (marah-marah
dan sebagainya), jangan kada ingat mairinginya (mengikutinya) dengan
do’a : “Mudah-mudahan inya (dia) mendapat hidayah”
“Belajar dari kisah sukses kehidupan Siti
maryam, mengapa dia berhasil mendapatkan kemulian di dunia dan di akherat
adalah disebabkan oleh 3 hal, yaitu adanya niatan yang baik dari orang tua,
kemudian hidup di dalam lingkungan yang baik, dan yang terakhir adalah do’a”
“Sesuatu yang
terungkap melalui perbuatan lebih hebat daripada kebaikan yang diungkapkan
melalui perkataan. Karena itulah, ketika (Nabi) Isa ‘alaihi salam baru
dilahirkan, beliau sudah bisa berbicara dengan mengatakan : “Aku adalah
‘Abdullah (hamba Allah)”, tetapi Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
salam, ketika lahir beliau dalam keadaan bersujud, artinya beliau langsung
membuktikan, mempraktekkan kehambaannya, tanpa berkata terlebih dahulu”.
“Turunnya hidayah
Allah (kepada seseorang, pen) bukan karena
haratnya ceramah seseorang, tetapi (tergantung) pada baiknya niat seseorang
dalam menuntut (belajar, mendengarkan, dsb, pen) dan keikhlasan (guru)
dalam menyampaikannya”.
“Kehidupan para auliya Allah sungguh luar
biasa. Diceritakan, Imam Abu Hanifah selama 40 tahun terbiasa shalat subuh
dengan wudhu isya’. Imam Syafi’i disela-sela kesibukannya dapat mengkhatamkan
membaca al-Qur’an satu kali dalam sehari, tetapi di bulan Ramadhan beliau
khatam 2 kali dalam sehari. Lalu kita ? Kadada apa-apanya dibandingkan
mereka. Tetapi paling tidak , ada waktu-waktu tertentu yang hendaknya kita isi
dengan ibadah, terutama pada saat qabla fajr (waktu sebelum subuh),
kemudian bainal fajr wal syuruq (waktu antara subuh dan isyra’), waktu
menjelang terbenam matahari, dan kemudian saat bainal maghrib wal isya
(waktu antara maghrib dan isya). Hendaknya pada waktu-waktu itu dapat kita
optimalkan dengan ibadah, yaitu agar kita tidak termasuk orang yang lalai”
“Nikmat dunia –
seberapapun besarnya— tidak dapat
dibandingkan dengan nikmat agama. (Karena) Nikmat dunia bersifat sementara,
tidak dibawa mati. Bahkan sewaktu di duniapun (terkadang) nikmat tersebut tidak
dapat dinikmati. Misalnya, pedagang gula, tidak dapat menikmatinya karena
menderita kencing manis. Atau pedagang uyah (garam) tidak dapat
merasakannya, manginging talinga, sakalinya aritan darah tinggi.
Sedangkan nikmat agama adalah abadi karena memberi manfaat didalam kehidupan
akherat kelak”.
“Banyak sedikitnya
nikmat dunia yang diberikan Allah kepada seseorang, bukan ukuran bahwa Allah
mencintai atau tidak mencintai orang tersebut, tetapi diberikannya nikmat agama
kepada seseorang merupakan tanda bahwa Allah sayang dan cinta kepada orang
tersebut”.
“Hasil dari orang yang berpuasa, hendaknya
mengikuti hasil yang didapat dari puasanya seekor ulat. Sebelum menjadi kupu-kupu yang indah, dia hanyalah makhluk yang lemah, tubuhnya
kadang berlendir, jalannya lamban, warnanya biasa saja dan lain-lain
sebagainya. Tetapi setelah berpuasa, dengan cara menggulung diri didedaunan
sebagai kepompong, pada akhirnya dia keluar menjadi makhluk yang dapat membuat
orang takjub. Semula tubuhnya tidak menarik tetapi kemudian menjadi kupu-kupu
yang berwarna-warni, ulat yang semula berjalan lamban sekarang dapat terbang,
bahkan makanannya pun hanya sari bunga, yang lebih hebat lagi dia menjadi
makhluk yang berguna bagi makhluk lainnya, yaitu dengan membantu penyerbukan”.
“Huhuwas nang paling ganal yaitu asa marasa umur masih
panjang. Penghalang kita dalam beribadah adalah karena merasa hidup masih lama,
sehingga bisa kaena-kaena haja (nanti saja) dulu”
“Tafakkur terhadap dosa dapat menggiring kita kepada istighfar dan
taubat, dan bertaubatnya seseorang dari
dosa menjadi pembuka pintu pengampunan dari Allah Swt”.
“Jangan sampai sebelum tidur kita tidak melakukan suatu kebaikan
atau amalan, sebab suatu amal itu tergantung pada ujungnya atau diakhirnya
(sebagaimana sabda Nabi Saw)”
“Beda antara Ramadhan dan hidup (umur) kita yaitu akhir Ramadhan
dapat kita prediksi, tetapi umur kita tidak dapat ditentukan. Kemudian, pada
akhir Ramadhan kita pasti akan berhadapan dengan hari Raya (kemenangan), tetapi
akhir kehidupan kita, bila mati, kita tidak dapat memastikan apakah didalam
kubur kita mendapatkan kemenangan/ kelapangan”
“Apabila di bulan Ramadhan ini seseorang tidak
terbiasa berjama’ah, apalagi atau dapat dipastikan pada bulan-bulan lainnyapun
juga demikian. Jadi Ramadhan adalah bulan introspeksi dan merupakan puncak dari
ketaqwaan seseorang”.
“Kemaksiatan tu mun dinampak-nampakan
bisa menjadi asbab (sebab) turunnya bala. Jadi mun ada orang yang berani
mencegah, padahal kita sendiri tidak berani, maka janganlah kita “mahapak-hapak”
orang yang (ingin) menegur tersebut”.
Subhanalooh..
BalasHapus