KH. Muhammad
Ilyas bin H. Muhyiddin lahir di Amuntai,
Rabu, 11 Februari 1953 M (bertepatan dengan 26 Jumadil Awal 1372 H). Beliau adalah
Alumni Normal Islam Rakha (1969), kemudian ke dan tamat tahun 1972.Terakhir menyelesaikan
program pendidikan Sarjana Muda pada fakultas ushuluddin tahun 1976.
Beliau
pernah jadi dosen di IAIN Antasari. Berkarir di DPRD Kab.HSU selama 18 tahun mulai
jadi anggota (1982-1987, 1987-1992), menjabat sebagai wakil ketua (1997-1999), hingga
menjadi Ketua DPRD Kab. HSU periode 1999-2004.
Beliau pernah memangku jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Pengawas Pondok
Pesantren “Rasyidiyah Khalidiyah” Amuntai, kemudian menjadi Ketua Umum Ikatan
Alumni (IKA) Rakha Amuntai. Aktifitas lainnya adalah sebagai Anggota Mustasyar
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Hulu Sungai Utara, Penasehat “Majelis
Rasulullah” Cabang Hulu Sungai Utara, Pengurus/ Penasehat Yayasan "al-Ukhuwwah" Banjang, menjadi khatib dan mengisi ceramah di
berbagai majelis taklim.
Telah berpulang ke rahmatullah pada hari Jum’at, 1 Januari 2021 M pukul
13.30 wita (bertepatan dengan 17 Jumadil
Awwal 1442 H).
.
Diantara kalam beliau:
“Zuhud di dunia
bukan menyia-nyiakan dunia, bukan meninggalkan dunia tetapi tidak mencintai
dunia. Apa yang kita kerjakan adalah kecintaan hati kita adalah untuk negeri
akherat. Sehingga diatur makan untuk apa, untuk mempunyai tenaga, tenaga untuk
apa untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Guring berniat supaya
mengembalikan supaya dapat lagi menunaikan ibadah kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala. Semuanya berorientasi pada akherat. Seseorang bersifat zuhud pada
dunia, dia tidak mencintai dunia bukan tidak boleh memiliki dunia”
“Ibadah itu
suatu ungkapan atau nama yang mencakup semua perbuatan apa saja yang diredhai
oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, lahir dan bathin. Semuanya ibadat. Apabila
gawian itu diredhai Allah dan kita tetap mengerjakannya dengan niat mendapatkan
keredhaan Allah maka semuanya bernilai ibadat. Jadi kada aneh dalam kehidupan
seorang muslim, bahira (maaf) ibadah, bakamih bakantut bisa jadi
ibadah, makan ibadah, minum ibadah sampai berhubungan suami istri juga ibadah.
Tidak sempit.”
“Orang yang
tawadhu’ adalah orang yang merasakan, menyadari bahwa Allah Maha Besar, Maha
Mulia, Yang Maha Tinggi itu hanaya Allah, sedangkan diri kita adalah makhluk,
kita diciptakan dari tanah dan akan kembali jadi tanah. Semua yang ada pada
diri kita Cuma titipan Allah yang suatu saat akan dikembalikan kepada Allah,
maka apa yang pantas kita sombongkan?”
“Mun seseorang
menyadari bahwa semuanya itu dari Allah, maka dia akan saqqiyah, dia akan
dermawan, suka menyumbang, suka membantu orang lain, (artinya) inya kada
pacangan pamalar, tapi amun inya mengakui ini usahaku, ini gawianku,
ini hasil jerih payahku, orang tu biasanya hitungan”.
“Bagaimana
maksud ikhlas dalam mengucap kalimat “la ilaha illallah”? Yaitu bilamana
ucapan itu (dapat) mencegah dirinya, menahan dirinya, menghalangi dirinya
daripada mengerjakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala”
“Kalimat
tayyibah (La ilaha illallah) itu harus terhunjam, harus masuk, dan tertancap,
tertanam dalam relung hati, di dalam jantung kita, jadi bukan sekedar dzikir
dengan lidah saja. Akar pohon yang tertanam, terhunjam ke dalam tanah adalah
pohon yang baik, kuat. Apabila akarnya menimbul di atas tanah, itu pohon akan dapat
tumbang bila diterpa angin. Jadi dzikir kalimat tahuid itu harus ditanamkan,
dihunjamkan ke dalam jantung kedalam hati kita”
“Ibarat rumah,
apabila sudah buruk kondisinya, tentulah kita berusaha untuk memperbaikinya,
apakah dicat misalnya. Begitupula dengan hati dan keimanan. Apabila hati kita
kotor atau iman kita melemah, seharusnyalah kita memperbaikinya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar