Sabtu, 29 Juli 2017

Prof. Dr. KH. A. FAHMI ARIEF, M.A



Prof. Dr. KH. A. Fahmy Arief, M.A. lahir di Desa Telaga Silaba, Amuntai Selatan, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Rabu, 13 Mei 1953 M (bertepatan dengan 28 Sya'ban 1372 H). Ayahnya, Tuan Guru Haji Muhammad Arief, dikenal sebagai seorang ahli ilmu hukum waris. 


Jenjang pendidikan dasar ia jalani di Sekolah Rakyat Negeri, Telaga Silaba. Sementara pada jenjang tsanawiyah dan aliyah, ia masuk Ponpes Rasyidiyyah Khalidiyyah (Rakha) di kota Amuntai.
Tahun 1973, ia berangkat ke Yogyakarta. Di Kota Gudeg ini, ia mengambil kuliah Jurusan Sastra dan Bahasa Arab, pada Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Melanjutkan aktivitasnya di Rakha dulu sebagai anggota IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Cabang Amuntai, ketika kuliah di IAIN Yogyakarta, ia bergabung dengan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Rayon Fakultas Adab. Setahun kemudian, yaitu tahun 1974, ia terpilih sebagai ketuanya.
Di samping aktif di PMII, ia juga aktif di dunia jurnalistik mahasiswa. Bermula sebagai pemimpin redaksi Majalah Dinding Ibnul Muqaffa’, terbitan Senat Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah itu dia ditarik ke majalah Arena, terbitan Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kariernya sampai ke jabatan puncak, yaitu sebagai pemimpin umum Majalah Bulanan Mahasiswa Arena. Selanjutnya, ia juga sempat menjabat wakil ketua IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) Cabang Yogyakarta selama dua periode.
Mei 1979, ia berhasil menyelesaikan studinya di kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Masa studi di almamaternya itu ia jalani kurang lebih selama enam tahun. Selama hampir enam tahun itu, tak pernah sekali pun ia pulang ke Banjar. Jadi, selama studi di Yogyakarta, dia menjalani ibadah puasa Ramadhan, bahkan berhari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, selama lima kali berturut-turut di sana.
Sekembalinya di kampung halamannya, tahun 1979, ia menikah dengan Hj. Ismawaty, putri Tuan Guru Haji Abdul Karim bin Haji Nafiah. Mertuanya, Tuan Guru, yang hafal Al-Qur’an, pernah belajar agama di Makkah selama sepuluh tahun. Kini ia ini telah dikaruniai empat anak dan dua orang cucu. Mulai tahun 1985, selama dua periode berturut-turut, ia menjabat wakil ketua PW GP Ansor Kalimantan Selatan.
Keterlibatannya dalam organisasi komunitas NU itu terus berlanjut. Tahun 1995 sampai sekarang, ia aktif di PW NU Kalimantan Selatan. Jabatan yang pernah diembannya mulai dari katib syuriah, wakil ketua Tanfidziyah, dan kini sebagai mustasyar.
Pada tahun 2000-2004, ia terpilih sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia kota Banjarmasin. Selama empat tahun memimpin MUI kota Banjarmasin itulah dia banyak bergaul dan bertukar pikiran dengan kalangan habaib, baik yang ada di kota Banjarmasin maupun yang ada di luar kota Banjarmasin.
Di masa kepemimpinannya, para ulama dan habaib, dalam rangka saling menambah wawasan, ia ajak mengunjungi lembaga pendidikan Islam di Surabaya, pabrik sarung terkenal BHS di Gresik, Badan Amil Zakat DKI Jakarta, teropong bintang Boscha di Bandung, berziarah ke makam-makam Walisanga di Pulau Jawa, dan berbagai seminar lokal. Pada waktu itu, hubungan dan kerja sama dengan pihak Muspida Pemerintah Kota Banjarmasin teramat baik.
Tahun 1999, ketika ia menjabat pembantu rektor I IAIN Antasari Banjarmasin, bersama rektornya, Prof. Drs. H.M. Asywadie Syukur, Lc., dia mendirikan Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin. Menurutnya, waktu itu banyak kalangan yang pesimistis, menyangsikan keberhasilan pendirian program pascasarjana tersebut. Namun ia nekat membawa rombongan petinggi IAIN itu ke Departemen Agama RI dan memimpin langsung presentasi proposal pendirian Program Pascasarjana IAIN Antasari, di hadapan Tim Penilai, yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., yang saat itu menjabat direktur Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama RI. Tim Penilai saat itu terdiri dari para guru besar IAIN Syarif Hidayatullah, Universitas Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, dan Universitas Negeri Jakarta.
Ia menyelesaikan pendidikan program masternya di IAIN Alauddin Makassar, tahun 1994. Di kota ini, ia belajar ilmu tafsir kepada Pof. Dr. H. Abdul Muin Salim, M.A., dan ilmu hadits kepada Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, M.A.
Adapun program doktoralnya ia dapatkan dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1997. Di antara gurunya di sini adalah Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A., dan Prof Dr. H. Said Agil Al-Munawwar, M.A. Pada tanggal 24 Mei 1997 telah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Pemikiran Politik dalam Tafsir Fathul Qadir. Dalam penulisan disertasinya, ia dibimbing oleh Prof. Dr. H. Munawwir Syadzali, M.A., menteri agama.
Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-48, ia pun dikukuhkan sebagai guru besar dalam ilmu balaghah pada Rapat Senat Terbuka IAIN Antasari Banjarmasin, yang dipimpin oleh Rektor IAIN Antasari Banjarmasin, Prof. Dr. H. Kamrani Buseri, M.A. Pidato pengukuhan ia sampaikan dalam bahasa Arab dengan judul Isti’mal al-Majaz fi al-Lughah al-‘Arabiyyah.
Oktober 2004, ia dilantik oleh Menteri Agama, Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawwar, M.A., sebagai ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda, Kalimantan Timur.
Gebrakan pertama yang dia lakukan ialah memberikan rekomendasi kepada tujuh orang dosen STAIN Samarinda untuk melanjutkan studi ke program doktoral. Ia juga melakukan beberapa kali pertemuan bersama Panitia Anggaran DPRD Provinsi Kalimantan Timur untuk mempersiapkan Kampus Dua STAIN Samarinda di wilayah Samarinda Seberang, serta pertemuan dengan pihak Kementerian Perumahan Rakyat untuk membangun Asrama Mahasiswa STAIN Samarinda. Ia juga mengajukan Proposal Alih Status dari STAIN Samarinda menjadi IAIN Samarinda kepada Menteri Agama Dr. H. Mohammad Maftuh Basyuni.
Pertengahan 2005, dalam kesempatan Musyawarah Daerah Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalimantan Timur, ia pun ditetapkan sebagai penasihat pengurus MUI Provinsi Kalimantan Timur periode 2005-2010.
Semestinya jabatan ketua STAIN Samarinda itu berlaku sampai bulan Oktober 2008. Akan tetapi pada Agustus 2006 ia dilantik oleh Gubernur H. Rudy Ariffin sebagai kepala Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Selatan, yang kemudian ia jalani sampai Agustus 2010.
Kini, Prof. Fahmy kembali ke almamaternya, IAIN Antasari Banjarmasin, dan memberi kuliah Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, dan Ilmu Badi’. Ia juga memberi kuliah Ulum al-Qur’an dan Tafsir Maudhu’i pada Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin. Terhitung mulai tanggal Oktober 2007, ia berpangkat Pembina Utama dengan Golongan IV/e. Artinya, ia termasuk guru besar senior di lingkungan IAIN Antasari Banjarmasin


Diantara kalam beliau:

“Al-Ikhlas –dalam bahasa Indonesia – mengarah kepada pemurnian aqidah. Aqidah itu sama dengan i’tiqad, i’tiqad sama dengan keyakinan, keyakinan sama dengan kepercayaan, kepercayaan sama dengan keimanan. Jadi “al-Ikhlas” maksudnya memurnikan keimanan, keyakinan, i’tiqad, kepercayaan”.

”Kalau juz itu bagian, 30 juz (maka) surat itu artinya tema atau pesan, jadi ada 114 tema pesan. Jadi kalau ayat bagaimana? 6666 ayat, ada yang mengatakan kurang dari itu, atau lebih, tergantung dari mana dia start untuk menghitungnya. Yang penting ayat itu dalam konteks al-Qur’an adalah sub-sub tema, jadi al-Qur’an itu mengandung 6666 sub-sub tema kecil”.

“Bacalah al-Qur’an dengan perlahan, sebab kalau cepat akan ada yang terlewat. Apa yang terlewat? Maknanya, filosofinya, penghayatan kita lewat”.

“Syarat mutlak yang harus kita lakukan sebelum kita berdzikir, kita harus melaksanakan yang fardhu dahulu misalnya shalat lima waktu. Tidak ada gunanya berdzikir kalau ternyata shalat kita tinggalkan. Kedua, zikir harus dilaksanakan dengan hati yang bersih dan khusyu’, tanpa ada perasaan ujub, riya’ dan penyakit hati lainnya. Kita terfokus pada Allah”

“Surah al-Fiil secara garis besar mengandung makna teori jurnalistik yang paling indah dan sempurna. Dimana dalam surah tersebut, khususnya ayat 3 – 5 mengandung khabar dari Allah tentang serangan balatentara bergajah (Abrahah, pen) ke kota Mekkah dimasa menjelang kelahiran Baginda Rasulullah. Maka (hanya dalam) 3 ayat yang pendek itu telah menjelaskan dengan tuntas sebuah peristiwa besar yang sangat bersejarah dengan bahasa yang mudah dimengerti dan tidak berbelit-belit. Kaitan dengan hal tersebut, (maka) unsur berita yang sempurna (mengandung) what, who, where, when dan How, gamblang diuraikan dengan bahasa yang singkat, padat, jelas. Inilah unsur-unsur bagian sebuah berita”.

“(dalam peristiwa Isra Mi’raj), rute perjalanan Isra Mi’raj dimulai dari hal yang bersifat horizontal, dari masjidil Haram ke masjid al-Aqsa, baru kemudian bersifat vertikal, dari masjid al-Aqsa ke Sidratul Muntaha, maka ketika kita bekerja hendaknya dipetakan terlebih dahulu pekerjaan kita sampai dimana pencapaiannya lalu dievaluasi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar